Barisan
batu nisan tertata amat rapi mulai pintu gerbang hingga pagar pembatas pemakaman
umum ini, sementara perasaan Santi begitu berlainan. Hati Santi berkecamuk tak
karuan sejak turun dari kendaraan dan memilih bunga taburan untuk sebuah makam.
Ya, sehari sebelum bulan puasa, Santi selalu menyempatkan diri untuk singgah ke
tempat ini.
“Aku
rindu mengucap salam dan bertemu dengannya,” desis Santi ketika ditanya oleh
rekannya akan alasan mengapa bergegas ke sana.
Santi
sendirian, tak berteman sesiapa. Sebab, susah rasanya mencari kawan yang mau
diajak ke pemakaman. Mereka beralibi ngeri, seram, atau juga takut. Sebagian
lagi malah diam, tak memberi jawaban.
“Sebenarnya
pemakaman tidak seberapa menakutkan,” lanjut Santi, “Lihatlah, beberapa anak
kecil gemar bermain di sana. Meloncat di antara nisan dan nisan. Dari makam
tua, berpindah ke makam yang masih basah. Kalau ditengok lebih teliti, justru
tak ada raut khawatir dari anak-anak itu.”
Ironis
memang, saat iring-iringan jenazah yang akan dikuburkan datang, berpasang mata
mengucurkan air kesedihan. Taklid. Haru. Tangis yang tumpah seakan tak ada lagi
hari esok menjumpa. Mereka larut dalam prosesi sakral bernama pemakaman. Namun,
anak-anak kecil itu, sepulang rombongan tadi hijrah, mereka akan berlarian di
atas pelatarannya.
Apa
mereka tak bisa merasakan sedihnya ditinggalkan seseorang? Apakah mereka tak
menyaksi air mata yang jatuh di sisi-sisi nisannya? Apakah mereka tak ingin
tahu siapa penghuni baru di pemakaman itu?
Jawabnya
tak peduli. Mereka hanya ingin menjadikan tempat itu lahan untuk berlari,
bermain, entah petak umpet, kucing-kucingan,
atau jenis permainan lain yang menurut mereka menyenangkan.
“Bagaimana
rasanya berlarian di sana sambil tertawa-tawa? Sedang aku, selalu saja
merengkuh nisan ini sembari melelehkan tangis. Mengapa aku tak bisa merupa
anak-anak kecil itu, yang tidak mengenal kesedihan?” jerit Santi dari dalam
hati.
Santi
tentu masih mengingat bahwa kebiasaannya ke pemakaman sebelum bulan puasa bukanlah
tradisi turun-temurun. Tepatnya, baru beberapa tahun terakhir kemarin. Dia juga
tak pernah memimpikan akan menjalani ritual ini. Sebab, apabila peristiwa itu
tak terjadi, pasti dia tak pernah tahu bagaimana hidup ini hanya sementara.
Ya,
pemakaman mengajarkan banyak hal. Tentang bagaimana kamu diakhirkan di dunia.
Akan kesendirian setelah berpisah dengan orang-orang terdekat. Perihal
menjalani hidup untuk mempersiapkan segalanya sebelum terlambat. Serta... soal
air mata.
“Bahasa
yang jujur itu air mata, Sayang. Bukan kata-kata,” ucap Santi kepada suaminya
saat mereka tengah bertengkar begitu hebat.
Suaminya
yang begitu sabar, dengan tenang menimpali, “Sebenarnya, kita ini bertengkar
agar semakin kompak ke depannya, atau untuk berpisah?”
Kalimat
itu selalu manjur untuk mengakhirkan sebuah perdebatan. Dan, hampir bisa
ditebak, ego yang teramat batu di masing-masing kalbu seketika rontok bak
butiran debu. Seperti kata wanitanya, air mata mereka akan tumpah setelahnya. Namun,
ini tentang air mata lega, sebab satu masalah telah selesai dengan damai.
“Beginilah
cerita duka pernikahan, lengkap dan melekat bersama cerita sukanya,” pungkas
Santi saat mengingat kembali memoria pertengkaran pertama bersama suaminya.
Jangan
harap menyatukan dua insan itu mudah. Tidak. Sama sekali tidak. Akan tetapi,
apa bibir tak bisa membantu mengerti? Apa telinga tak sanggup mencerna
sepenggal arti? Apa hati tak mampu meredam buncahan emosi? Semua bisa
dibicarakan dengan kompromi.
Begitu
berwarna apabila berbicara perihal pernikahan. Hitam-merahnya teramat indah,
sekaligus haru. Namun, pertemuan Santi dengan suaminya, Azrul, lebih menarik
ketika disimak dibandingkan membahas pertengkaran tadi.
Bagaimana
tidak, mereka ialah teman semasa studi. Dekat juga hanya bersebab canggihnya
teknologi. Raga mereka jauh. Namun, kabar dan pesan terasa mudah untuk bertemu.
Azrul
mengidamkan muslimah yang sejati. Terlalu muluk memang, apabila dibandingkan
dengan latar Azrul yang bukan seorang ustadz atau kyai besar. Azrul masih muda,
masih kian bimbang menentukan mana benar serta mana salah.
Dalam
benak Azrul, ia punya kriteria tersendiri mengenai wanita yang akan dikejarnya.
Dikejar? Ya, dikejar. Bukankah sudah
kodratnya, lelaki yang mengejar calon wanitanya untuk diperistri? Dan, Azrul
sangat memahami itu. Maka, ketika dia mengenal Santi, yang menurutnya cocok
menjadi ibu untuk anak-anaknya nanti, dia tak bimbang untuk mengejar.
“Harus
sampai dapat!” kata Azrul, saat bercerita kepada Santi sembari mengenang
perjuangannya menaklukkan hati bidadari beserta keluarganya. Ayah Santi memang
sangat selektif dalam menentukan segala yang terbaik untuk anak-anak mereka,
terlagi untuk anak perempuannya.
Azrul
tentu tidak tinggal diam. Beragam upaya dijalankan. Dan, delapan tahun sudah
terlampau cukup untuk meyakinkan serta melubangi hati Santi dan keluarga untuk
mantap memberi restu pernikahan mereka.
“Kamu
itu wanita yang menyenangkan. Bila aku melihatmu, aku begitu bahagia. Kamu pun
selalu menaati segala perintahku. Tak pernah pula kamu menyelisih pada jiwa dan
harta dengan sesuatu yang kubenci. Mungkin, kamulah wanita baik seperti sabda
rasul kita,” ucap panjang Azrul setelah setahun usia pernikahan mereka.
Santi
sudah paham bagaimana memperlakukan suami. He
is the king in his own kingdom. Dan, sebagaimana raja, maka segala
tindak-tanduknya wajib dipatuhi, ditaati. Bahkan, dalam kepercayaan Santi,
ketika seorang wanita telah menikah, lebih penting patuh terhadap suaminya,
dibandingkan kepada ayahnya.
Santi
telah mengerti semuanya. Dan Azrul, mungkin ialah perhentian terakhirnya dalam
urusan jatuh cinta kepada makhluk ciptaan Tuhan.
“Tuhan
tetap nomor satu ya, bukan aku, bukan anak-anak kita nanti. Tuhan yang
menciptakanmu, juga aku. Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta melebihi kepada
Pemilik Hidup ini? Coba bayangkan, bagaimana jikalau Tuhan telah cemburu
kepadaku, yang telah kau cintai melebihi cintamu kepada-Nya?”
Santi
terdiam.
“Tuhan
bisa saja akan murka, Sayang. Maka, cintai aku dengan biasa saja. Dan, aku pun
akan mencintaimu dengan biasa saja. Tidak berlebihan,” lanjut Azrul, saat Santi
bilang teramat menyayanginya.
Santi
masih tak bergeming. Suaminya itu, paham betul bagaimana menjadi imam sekaligus
panutan. Maka, air mata Santi pun tumpah. Sekali lagi bukan bersedih, melainkan
bersyukur mendapatkan suami seperti Azrul, lelaki yang akan mengantarnya ke
surga.
Santi
hampir sampai ke lokasi makam yang akan dia ziarahi. Di dekat pohon kamboja
itu, beda dua meter dari jalan setapak, makam itu tertunduk lusuh. Cuma setahun
sekali Santi ke tempat ini. Sebab, dia lebih memilih mendoakan dari rumah,
ketimbang langsung ke sana.
“Aku
tak mau menangis terlalu sering. Tak ingin.”
Alunan
surah Yassiin bergema merdu di samping makam itu. Sesekali, Santi mengusap
matanya dengan saputangan. Sesekali pula, dia membetulkan posisi duduknya
sehingga lebih nyaman. Sesekali pula, dia memalingkan muka ke arah lain,
memperhatikan pemandangan pemakaman yang ramai menjelang bulan puasa tiba.
***
Langit
sore telah mengisyaratkan matahari terbenam. Sudah hampir waktu maghrib. Santi
juga telah menyelesaikan segala bacaan dan doanya.
Sembari
membereskan perlengkapan sebelum kembali pulang, Santi mengelus batu nisan itu
dan berbisik lirih, “Aku pulang dulu ya, Mas Azrul. Semoga Tuhan selalu
menerangkan jalanmu. Semoga dosamu dihapuskan oleh-Nya dan kau tinggal nyaman
di surga-Nya.”
Makam
itu tak bergeming. Santi berlalu, dalam hatinya tebersit satu, “Semoga bersama
kematian itu, Tuhan tidak lagi cemburu padamu.”
(IPM)
Surabaya, Agustus 2014
Terima kasih untuk AFP atas bahan dan masukan demi terciptanya cerpen ini.