Tepatnya
bulan April lalu, di kampus saya, ITB, mengadakan kerjasama dengan perusahaan
Bank Central Asia (BCA) terkait pelatihan softskills.
Tertarik melihat publikasi lewat poster di setiap mading, saya pun mendaftar.
Kuotanya tidak banyak, hanya seratus kursi, dibandingkan total mahasiswa ITB
yang berjumlah 15 ribu. Beruntung, saya memperoleh kesempatan itu.
Pages
Salah
seorang temanku tengah asyik berdiskusi, atau lebih tepatnya ngerumpi. Topiknya menarik: apa sih isi kepala seorang perempuan? Kalau
anak kedokteran ya bakal dijawab: otak, syaraf neuron, bla-bla-bla. Tapi, ini bukan anak FK yang bicara.
Hmm, tema yang cukup renyah di
antara minggu kelima kuliah di kampus gajah, batinku
sambil nyengir sendiri.
Kalau
kamu berharap hidupmu akan bahagia selamanya, berarti kamu sedang bermimpi
untuk tinggal di surga. Dunia selalu menyajikan dua hal: suka dan duka, senyum dan murung, juga senang dan sedih.
Ada
beberapa peristiwa sedih dalam cinta yang mungkin pernah mengisi harimu di
belakang. Ada yang sedih, cukup sedih, atau teramat sedih. Sekarang, coba kamu
simak untaian kejadian sedih mengenai percintaan berikut. Jangan lupa siapkan tisu ya!
Usia
hubungan kalian sudah jalan berapa tahun? Oh, belum sampai setahun ya. Kalau begitu,
kira-kira sudah berapa lama? Hmm, kalau boleh nanya, masih sama tidak, antara dulu awal-awal masa jadian, dengan
sekarang setelah jalan beberapa waktu?
“Dia
mulai berubah. Awalnya rajin sekali berkabar, sekarang perlu ditanya dulu baru
keluar yang namanya obrolan,” curhat seorang rekan kuliah.
Usia
20-an adalah ambang antara masa remaja yang beranjak menuju dewasa. Pencarian
jati diri pun resmi digalakkan. Mulai dari memilih studi yang akan dijalani
secara serius untuk masa depan, memikirkan prioritas hidup, hingga belajar
mandiri agar tidak selalu bergantung pada orang tua.
Namun,
di tengah masa ‘pencarian’ itu, terkadang kita secara (tak) sengaja justru menemukan
perihal lain: belahan jiwa. Anak
sekarang menyebutnya soulmate, atau
kekasih, pacar, gebetan, dan sebutan gaul
lainnya.
Bermula
dari tempat kuliah yang sama, misalnya, mungkin juga sekelas, punya hobi yang
sama, bahan candaan yang sama, pemikiran yang sama, dan akhirnya mereka sepakat
untuk berdua dalam cinta (baca: jadian).
Ya, pacaran dengan yang sepantaran.
Sahabatku
tengah mencintai perempuan yang telah memiliki kekasih. Awam, hal ini akan
terlihat salah, seperti tindakan bodoh membuang waktu percuma demi perkara yang
tak seharusnya.
Dia,
sahabatku, sudah barang tentu lebih dulu menemukan perempuan itu. Jauh sebelum
kekasihnya datang dan bersambang. Namun, dia ragu-ragu. Terlalu banyak
menimbang, mana benar, mana kurang.
Lalu,
ketidaktegasannya meruapkan derita. Kala perempuan itu menerima permintaan
lelakinya, untuk menjadikannya seorang kekasih, ia tak menunggu lama memberi
jawaban, “Ya, aku juga suka.”
Subscribe to:
Posts (Atom)