Sahabatku
tengah mencintai perempuan yang telah memiliki kekasih. Awam, hal ini akan
terlihat salah, seperti tindakan bodoh membuang waktu percuma demi perkara yang
tak seharusnya.
Dia,
sahabatku, sudah barang tentu lebih dulu menemukan perempuan itu. Jauh sebelum
kekasihnya datang dan bersambang. Namun, dia ragu-ragu. Terlalu banyak
menimbang, mana benar, mana kurang.
Lalu,
ketidaktegasannya meruapkan derita. Kala perempuan itu menerima permintaan
lelakinya, untuk menjadikannya seorang kekasih, ia tak menunggu lama memberi
jawaban, “Ya, aku juga suka.”
Seketika,
wajah sahabatku tak serupa biasanya. Murung, ditekuk tak rapi, sedih, bercampur
kalut akibat tiada sanggup memaknai. Dan... kalimat ini pun terucap, “Ya, kalau
jodoh ya tidak lari ke mana,” belum sempat berhenti, ia menambahi, “Memang
benar, cinta kan tak harus memiliki.”
Mungkin
ada benarnya. Mungkin juga kalimat itu hanya ungkapanmu yang dengan tegas
menerima kekalahan. Atau, dengan kata lain: menyerah.
Ah, cemen sekali kau!
Perihal rebutan perempuan, yang terpenting bukan berebut untuk mendapatkannya.
Lebih penting daripada itu ialah... memantaskan diri. Cobalah kau bangun dirimu.
Berbicara lebih sopan. Belajar lebih giat. Berlaku lebih anggun.
Kalau
dengan berubahnya dirimu menjadi lebih baik tak juga membuatnya tertarik
kepadamu, tentu juga bukan masalah. Sebenarnya, Tuhan telah memakai konsep
perempuan itu untuk menaikkan kelas pribadimu.
Dampak
positifnya: kini, kau lebih berkelas.
Satu
lagi, coba kau resapi ini: if she is not
for you, you’re for somebody else, better. Selamat berjuang, Sob! Perempuan
tidak hanya dia!
(IPM)
Bandung, September 2014