Usia
20-an adalah ambang antara masa remaja yang beranjak menuju dewasa. Pencarian
jati diri pun resmi digalakkan. Mulai dari memilih studi yang akan dijalani
secara serius untuk masa depan, memikirkan prioritas hidup, hingga belajar
mandiri agar tidak selalu bergantung pada orang tua.
Namun,
di tengah masa ‘pencarian’ itu, terkadang kita secara (tak) sengaja justru menemukan
perihal lain: belahan jiwa. Anak
sekarang menyebutnya soulmate, atau
kekasih, pacar, gebetan, dan sebutan gaul
lainnya.
Bermula
dari tempat kuliah yang sama, misalnya, mungkin juga sekelas, punya hobi yang
sama, bahan candaan yang sama, pemikiran yang sama, dan akhirnya mereka sepakat
untuk berdua dalam cinta (baca: jadian).
Ya, pacaran dengan yang sepantaran.
Survei membuktikan, beberapa yang pacaran sepantaran mengaku menjadi lebih semangat menjalani hidup. “Semacam di-recharge gitu setiap harinya karena di-support dia,” kata seorang teman yang baru jadian sebulan. Sementara yang lain, semakin hari malah bingung, bimbang, dan linglung.
Saat
ditanya apa sebabnya, mereka menjawab: Gak
tahu, setelah ini mau dibawa ke mana?
Pacar itu bisa putus jadi dua: jadi
mantan, atau jadi manten. Tinggal pilih!
Beberapa
kejadian di bawah ini bisa jadi akan kamu alami apabila kamu pacaran dengan yang sepantaran. Coba dibaca pelan-pelan.
1. Pertanyaan skakmat dari
sang pacar.
Sebagaimana
pun cantiknya pacarmu dan sesempurnanya dia, pasti akan tetap membuatmu
panas-dingin ketika dia bertanya, “Sayang, kapan mau main ke rumah? Papa mau
bicara serius sama kamu.” Jawabmu yang tidak siap paling-paling melontar alasan,
“Eeee, iya, Sayang, entar ya kita omongin lagi. Aku masih sibuk ngerjain TA.
Dosbing udah kasih deadline seminar.”
2. Ditinggal pacar lulus duluan.
Entah
sebab perempuan itu dianugerahi ‘tingkat kerajinan’ yang lebih tinggi oleh
Tuhan atau apa, biasanya di lapangan akan terjadi fenomena pacaran sepantaran
dengan sang pacar (si perempuan) mampu menyelesaikan TA dan lulus duluan
ketimbang lelakinya. Senang sih menyalami
pacar sendiri yang sudah bergelar sarjana. Tapi dalam hati, beh, tak karuan sedihnya karena masih
berstatus mahasiswa. Apa?
M-A-H-A-S-I-S-W-A.
3. Dikode dengan posting
pernikahan teman dan sejenisnya.
Seperti
malam minggu biasanya, para pelaku pacaran dengan yang sepantaran pasti akan jalan ke luar.
Entah nongkrong cantik di kafe walau cuma pesan kopi dan snack, duduk anteng berdua di taman kota, atau melipir ke bioskop
yang lagi ramai-ramainya. Lalu, di tengah pembicaraan sang perempuan tetiba menunjukkan
gadget-nya ke wajah lelakinya,
“Sayang, coba lihat deh, di Path si Anu, iya, si Anu, katanya bulan depan dia akan
resepsi lho. Kita diundang. Kita datang ya. Oke?” Jawabmu pasti, “Iya,” sembari
menghela napas sangaaaaaaaaat panjang dan muka tertunduk lesu. Dalam hatimu
berbisik, “Sabar ya, Sayang, tunggu aku lulus dan kerja bener dulu, baru aku
nikahi kamu.”
Akan
tetapi, tenang dulu, semua kejadian di atas punya solusi untuk kamu yang sedang
atau akan menjalani yang namanya pacaran
sepantaran. Coba disimak!
1. Sang lelaki harus super
duper visioner.
Kamu,
untuk para perempuan, harus mendorong pacar sepantaranmu untuk lebih berpikir
ke depan. Bahasa kerennya, visioner.
Sang lelaki juga mestinya sadar dan bertanya dalam diri sendiri: Mau sampai kapan pacaran terus? Aku harus
berubah!
Kalian
bisa menabung sejak dini untuk keperluan bersama ke depannya. Bagaimana pun
kaya dan borju-nya orang tua
masing-masing, akan tetap lebih terhormat apabila resepsi pernikahan kalian menggunakan
biaya sendiri. Kata orang mah, lebih
punya greget. Terlagi kehidupan
paskah menikah, pasti deh urusan UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidak terelakkan.
Caranya?
Bisa membangun bisnis bersama waktu kuliah, atau sang lelaki mulai tuh cari-cari internship agar setelah lulus bisa langsung punya link kerja. Bukankah lelaki bertanggung
jawab akan memastikan perempuannya terus berbahagia ketika bersamanya? So, let’s get your extra miles!
2. Sang perempuan harus super
duper sabar.
Pada usia 20-an akan banyak
sekali perempuan yang siap dinikahi, sedangkan lumayan sedikit lelaki yang siap
menikahi. Kalimat ini sepertinya ada benarnya. Terlebih ada
anggapan bahwa perempuan pada umur 23 dianggap sudah waktunya untuk menikah,
sedangkan lelaki usia 23 dianggap terlalu muda membangun keluarga.
Maka,
menanggapi pernyataan di atas, sang perempuan mesti sabar. Sabar mendorong
pacar sepantarannya untuk bekerja lebih giat, sabar menanti kejelasan kapan
didatangi ke rumah demi meminta restu orang tua, juga sabar melihat teman
sebaya lain yang pacaran dengan lelaki lebih ‘senior’ sudah berbahagia
mengarungi bahtera rumah tangga.
Well,
itu tadi masalah dan solusi seputar pacaran
dengan yang sepantaran. Apabila kamu punya pendapat sendiri yang belum
tertampung dalam posting ini, silakan
tinggalkan jejak di kolom komentar. Terima kasih!
(IPM)
Bandung, September 2014