Tepatnya
bulan April lalu, di kampus saya, ITB, mengadakan kerjasama dengan perusahaan
Bank Central Asia (BCA) terkait pelatihan softskills.
Tertarik melihat publikasi lewat poster di setiap mading, saya pun mendaftar.
Kuotanya tidak banyak, hanya seratus kursi, dibandingkan total mahasiswa ITB
yang berjumlah 15 ribu. Beruntung, saya memperoleh kesempatan itu.
Entah
mengapa, setiap mengikuti seminar atau workshop,
selalu saja saya membidik kursi terdepan. Jika tidak dapat, saya akan duduk di
dekat microphone yang telah
disediakan panitia. Apa alasannya?
Sebab saya ingin menjadi pelaku sejarah, bukan sekadar pengamat.
Saat
kamu men-challenge dirimu untuk
berbicara di depan publik, maka kamu memperoleh kesempatan menjadi seorang public speaker. Bagaimana bentuk salam
pembuka, gestur, intonasi, hingga konten pertanyaanmu sendiri akan merupa
sejarah. Jika unik, namamu akan melekat, baik di telinga para peserta, maupun narasumber
sendiri.
Apa dampaknya?
Beragam. Saat kamu mulai dikenal, maka kesempatan akan terus datang kepada
kamu. Saya beri contoh, waktu itu saya melempar pertanyaan standar, akan tetapi
saya memberi awalan quote dari sebuah
buku terkenal. Narasumber pun terkejut. “Wah, hebat juga kamu, sudah baca buku
itu. Saya juga sudah baca dan banyak pelajaran dari sana,” tuturnya,
dilanjutkan, “Mungkin suatu saat kamu cocok berada di depan (panggung) untuk
berbicara.” Sebagian peserta bertepuk tangan.
Dalam hati, saya memiliki
keinginan untuk tampil di depan umum, berbicara dan berbagi pengalaman suatu
saat nanti. Saya ingin sekali.
Berselang
lima bulan, keinginan saya terjawab. Pagi hari, belum genap pukul 08.00, Bapak
Sandro, Sekretaris Bid. Kesejahteraan dan Pengembangan Karakter LK – ITB
menghubungi saya lewat pesan elektronik. Intinya, meminta saya berbicara di
depan publik. Namun, konteksnya bukan sebagai narasumber, melainkan MC dan
moderator untuk acara training Leadership
Through Action dari BCA.
Tidak mengapa, Tuhan mengijabah
keinginan saya.
Tanpa
pikir panjang, saya langsung bersedia. Dan... setelah itu, saya justru khawatir
dengan kapabilitas diri sendiri. Pertanyaan seperti: Mampu tidak ya memandu acara sebesar itu? Mampu tidak ya berbicara
secara luwes di depan ratusan hadirin? Mampu tidak ya? Mampu tidak ya?
Tanda
tanya itu hanya bisa dijawab dengan persiapan yang matang. Setelah pihak BCA
menghubungi, saya pun mengejar untuk dilakukan briefing sejelas-jelasnya. Bagaimana
rundown acara? Siapa pembicaranya? Siapa peserta pelatihannya? Bagaimana
kondisi tempatnya? Juga bahan pertanyaan lain yang lebih mirip cerewet
dibanding kritis. Itu semua semata untuk merealisasi kalimat: victory loves preparation.
Sepulang
briefing, perpustakaan pusat menjadi
wahana bersemedi bagi saya. Berbekal laptop dan akun AI3, segala hal mengenai
pembicara saya ulik. Bahasa gaulnya mah
kepo akut. Saya memulai dengan googling siapa dia, jabatannya apa,
pernah melakukan apa saja, lulusan mana, apa moto hidupnya, hingga bagaimana
potret wajahnya. Semua dicatat, tentu baru coret-coretan. Namun, sesampai di indekost, hal-hal penting tadi disalin
secara sistematis.
Well, saya siap!
Esok
hari, datang lebih pagi dibanding jadwal, saya dengan setelan necis langsung
menyapa pegawai CSR BCA yang sudah datang. Persiapan lagi, briefing lagi. Mungkin, etos kerja ini yang saya apresiasi dari
pegawai BCA. Mereka itu punya standar tinggi. Dan, itu barang tentu bagus untuk
sebuah perusahaan.
Tak
beberapa lama, para pembicara datang. Mas Angga yang pertama, bagian International Banking BCA, disusul Mbak
Marvida, bagian Sentra Bisnis Komersial BCA Bandung, serta Ibu Inge, sekretaris
perusahaan BCA. Kopi darat pun saya awali. Singkat cerita, acara tersebut
dimulai.
Selama
acara, baik sesi talkshow dan training selalu saya awali dengan cerita
dan diakhiri dengan leadership quote.
Hal ini tidak lain agar peserta menjadi semakin tertarik. Maklum, acara ini
hampir seharian penuh sehingga flow dan
minat peserta harus tetap dijaga.
Bla. Bla. Bla. Bla. (Bagian ini
merupakan pelajaran yang dapat diambil dari acara training ini. Namun, saya
tidak akan membahasnya sekarang. Sabar ya!).
Finally,
acara ditutup oleh Pak Sandro dengan mengucap syukur. Namun, ada agenda satu
lagi: mengumumkan 10 pemenang lomba menulis esai yang hadiahnya “Meet and greet
with CEO BCA, Jahja Setiaatmadja, di Jakarta.”
Dan...
semua terkejut saat nama saya berada di antara 10 pemenang tersebut. Semua
tidak tahu jikalau saya juga peserta pelatihan itu. Bukan sekadar MC dan
moderator, saya pun mengikuti lomba menulis itu. Lengkap sudah hari termanis
ini. Memperoleh link baru di dunia
perbankan, bertemu orang-orang hebat di bidangnya, serta mendapat grand-prize ke Jakarta bertemu CEO BCA
sekelas Bapak Jahja.
Alhamdulillah...
Tulisan
ini dibuat bukan bermaksud menggurui dan memamerkan keberhasilan. Lebih dalam,
posting ini ditulis dengan penuh kerendahan hati. Penulis hanya seorang
mahasiswa tingkat akhir yang banyak kekurangan. Tapi poinnya, saya ingin
menggaristebalkan satu: bermimpilah,
tapi pastikan tindakanmu adalah benar-benar nyata.
Salam berkarya!
(IPM)
Bandung, September 2014