Kamu.
Kamu
biasa saja ketika bertemu dengannya. Dandanan ala kadarnya, baju dipilih sesuka
hati, serta alur bicaramu tak dipaksa bernada bijak. Kamu pun melontar canda
seolah-olah sudah mengenalnya cukup lama.
“Kamu
tertarik kepadanya?” tanya temanmu, yang mendadak bak detektif swasta selalu
ingin tahu.
Mendengar
ucapan itu, justru kamu tidak bergeming. Diam saja. Tak menguakkan gelagat
canggung ataupun serba salah. Nada negatif seperti, “Ah, dia cuma teman kok,” atau, “Oh, dia bukan siapa-siapa,”
tidak berusaha kamu lantunkan. Kamu datar dan tenang.
Mungkin,
kamu telah cukup dewasa untuk mengenal orang baru. Kamu telah cukup mengerti
bagaimana memilih teman untuk diajak berkisah bersama. Dan... kamu telah cukup
lelah mencari ‘wanita impian’ yang digadang-gadang akan datang tepat pada
waktunya.
Dia.
Dia
hanya mengenalmu sebagai teman kemarin sore. Nothing’s special. Dia tak berusaha menarik perhatianmu dengan
berkata lebih ceria, wajah dimanja-manjakan, atau suara dibuat bak serak-serak
basah.
Dia
tetap gila seperti biasa. Tak berubah.
Kamu.
Dia... apa yah? Dia itu... ya
dia.
Kamu
teramat bingung mendefinisikan makna dia. Tak biasanya kamu seperti ini.
Kurasa, kamu mungkin sedikit sakit sesaat setelah bertemu dengannya. Kukira,
kamu sedikit berlagak tidak normal ketika obrolan kalian memuncak di
pertengahan malam. Kukira, kamu perlu beristirahat sebentar, menerima kekuatan
lain yang hinggap di antara rasa.
Kamu...
mungkin benar kata rekan-rekanmu, “You’re
feeling blue.”
Dia.
Dia
tengah menunggumu. Dia sedang meragu tentang ‘kebaikan’ macam apa yang kamu beri
secara tiba-tiba. Dia itu perempuan, dan kamu selayaknya mengerti mengapa dia
cenderung sunyi dan berlaku perlahan.
Dia
memilah, menimbang, dan mencoba menerjemah: ini
semua perasaan apa?
___
Jika seseorang telah menunjukkan
sisi terlemahnya padamu, maka yakinlah, ia telah sepenuhnya percaya.
Sebaliknya, jika ia hanya menunjukkan sisi terbaiknya, maka jangan berharap
apapun.
(IPM)
Bandung, November 2014