Bila kau sanggup untuk melupakan
dia,
biarkan aku hadir dan menata
ruang hati yang telah tertutup lama.
Masih
pagi. Matahari pun masih menguap malas ketika hendak bersinar. Namun, gerutu
Kota D akan kemacetan sudah menguak barang sejengkal. Ya, kota ini selalu padat
saat pagi dan sore, bersaing dengan ibukota negara.
Mungkin
kamu tengah terlelap dalam kamar gelap di jam yang sama. Tirai penutup
jendelamu tidak terbuka, pertanda penghuninya belum bermata. Entah sebab kamu
terlalu lelah di hari sebelumnya, atau kamu bermimpi terlalu indah, aku tak
tahu. Akan tetapi, malam hari sebelum kamu pulas, kuingat obrolan kita
mengambang, menuju topik yang enggan dijamah.
Apa itu?
Harapan.
Harapan,
atau juga keinginan tak selalu harus dibagi kepada tiap orang, kecuali untuk
mereka yang kamu percayai. Kalau
denganku, bagaimana? Kau terdiam sejenak, lantas menyerngitkan dahi,
meragu.
Aku
membaca bagaimana gesture yang kamu
bangun tanpa sadar. Rasa bimbangmu. Rasamu memberi jarak. Rasamu enggan berbagi
lebih dalam.
Kurasa,
aku hanyalah orang kemarin sore yang belum pantas kamu curahi segalanya. Cuma
rekan minum kopi kala gerimis datang, sehingga untuk menghangatkan suhu tubuh
maka aku mengajakmu berteduh barang sebentar. Dan, lebih jauh lagi, aku masih
belum menjadi ‘the one’ yang kamu
cari... selepas darinya.
Dia,
yang ada dalam anganmu akan mengisi sisa hidup berdua. Dia, yang mewujud lelaki
pencemburu ketika kamu digoda oleh lain pria. Dia, yang justru menguap ketika
kau berada dalam taraf ‘secinta-cintanya’.
Kau masih bersedih? Masih pula kau
menutup pintu hati?
Ah,
mana sanggup aku menanyakan itu di depanmu. Mana kuasa aku melempar tanya yang
aku sendiri sudah tahu apa jawabnya. Tenang, aku tak sebodoh itu merusak sebuah
kedekatan.
Karena,
setelah pertanyaan retoris tadi, kamu mungkin, atau sudah pasti akan menjauh.
Bahkan, skenario terburuk dalam otakku berkata jikalau kamu tak mau lagi
bertemu, benci.
Sudah, pergi sana! Jangan campuri
lagi urusanku! Seperti itu kira-kira hardik seorang
wanita kepada seorang lelaki yang menanyakan hal bodoh dalam hidupnya. Aku
menemukan petikan itu di novel. Barangkali, di kehidupan nyata akan lebih hebat
lagi umpatannya.
Past is a nice place to visit,
but certainly not a good place to stay, isn’t it?
Sayangnya,
kamu tak pernah tahu apa sejatinya makna kalimat itu. Kamu masih saja mengenang
sosoknya kemarin, hari ini, minggu depan, dan berikutnya, dan berikutnya. Sering
pula, kamu membayangkan dia akan berbalik, menatapmu, kembali memujamu seperti kala
kalian masih bersama.
Ironi,
itu hanya ilusi. Maka untukmu, aku ada pertanyaan: mau sampai kapan? Oh, renungkan saja, tak apa.
Kau, jika kau masih ragu untuk
menerima,
biarkan hati kecilmu bicara,
karena kuyakin ‘kan datangnya saatnya.
(IPM)
Bandung, Desember 2014