Aku bahagia kok melihatmu dengannya, katamu saat menyaksikan dia yang kamu suka jadian dengan orang lain. Hmm, aku kok enggak yakin ya atas apa yang kamu lontarkan barusan. Di dunia ini, mungkin ada beberapa orang yang bisa ikhlas mengenai kenyataan. Namun, lebih banyak lagi yang urung begitu saja melepaskan.
Nah,
apalagi kalau kenyataan itu menyangkut soal hati. Aih, susah kalau udah bawa-bawa hati mah, seriusan. Akan tetapi,
hidup selalu punya skenario terindahnya, meskipun kali ini bukan happy ending. Nikmati saja.
Okay,
kita flashback sebentar mengapa kamu
sampai bisa bilang, “Aku bahagia melihatmu dengannya.” Ini pasti ada kisah di
baliknya. Pasti. Coba disimak!
Kamu
itu anak kuliahan yang usianya tanggung untuk disebut remaja atau dewasa. Pakai
kaos kadang udah enggak pantes, eh pakai celana bahan dikira mau kondangan.
Ribet. Bahkan, guna menjawab pertanyaan mau ngapain setahun ke depan aja kamu
masih bimbang. “Eee... saya mau jadi ini... eh, jadi itu deng... eh, pengen
langsung nikah deng, dst, dst,” jawabmu pertanda bingung.
Maklum
saja, kamu belum selesai dengan dirimu sendiri. Masih mencari-cari apa yang
cocok untukmu ke depan. Seorang profesional, teknokrat, wirausahawan, penulis best-seller, atau yang lain, kamu belum
menentukan.
Parahnya,
saat kamu sadar bahwa kamu belum jadi apa-apa, eh, tahu-tahu ada dia yang
menarik perhatianmu. Iya, usia segini mah
rawan buat jatuh cinta. Hormonnya lagi tinggi. Apa-apa tidak dipikirkan
matang-matang. Maunya cepet, instant,
tapi pengen everlasting ending-nya. Ya mana bisa lah.
Nah,
dia yang kamu jadiin target tadi belum deket tuh sama kamu. Emang sih sekampus,
atau sefakultas, atau sejurusan, atau bahkan sekelas, tapi kan enggak sehati. Ya, mau gimana lagi, harus dideketin!
Kata
orang bijak, segala yang dapatnya susah,
biasanya bertahan lama. Berbekal quote
itu kamu jadi semangat mengejar dia. Pagi-pagi banget kamu datang ke kampus,
pengen mewujud orang pertama yang ngeliat dia. Sore-sore banget kamu baru
pulang, pengen mewujud orang yang terakhir ngeliat dia. Begitu seterusnya. Kuliah jadi semangat, Broh! (Ini efek positif
dari jatuh cinta).
Sudah
genap dua bulan kamu memberi kode ke dia. Menyapanya dengan nada sok ramah tiap
hari. Menjadi ojeknya ke mana-mana kalau dia lagi butuh tumpangan. Dan,
senantiasa merupa solusi saat dia ada masalah. Misal, dia lagi enggak enak
badan, terus kamu tiba-tiba nyelonong aja ke kosan bawa makanan hangat dan obat.
Kan so sweet itu.
Kalau
secara teori mah, habis ini kamu pasti jadian sama dia. Pasti. Aku berani
jamin. Akan tetapi... eh... eh... eh... dianya justru enggak ada perasaan
apa-apa ke kamu. Lebih tragis, dia jadian sama orang lain. Jackpot jleb-nya!
Aih,
kalau aku jadi kamu mah pasti udah cakar-cakar tembok kamar kosan. Atau, showeran sambil teriak, “Mengapa?
Mengapa? Mengapa?” Atau, justru cubit-cubit pipi sendiri, berharap ini cuma
mimpi.
But, it was a reality. Pahit ya,
Broh? Sakit ya, Broh? Mau backsound patah hati apa nih? Biar penulis puterin.
Hehe.
Kamu
pun diinterogasi sama temen-temenmu, “Kenapa bisa enggak jadi? Padahal udah
deket lho.” Sambil pasang muka melas, jawabmu, “Enggak tahu juga, mungkin hanya
friendzone.” Terus, temen-temenmu
yang sekarang jadi kayak jaksa di pengadilan itu nanya lagi, “Sekarang gimana
perasan lo? Masih sakit? Udah, relain aja!” Hmm, balasmu singkat, seperti
pembuka posting ini tadi, “Aku
bahagia kok melihat dia dengannya.”
Wah,
omong kosong pisan ini mah. Mana mungkin sih ada orang yang bahagia melihat
incerannya jadian sama yang bukan kamu. Atau, ada ungkapan lain, “Kalau kamu
bahagia, aku pasti bahagia.” Yang ini lebih jawara, karena ikhlasnya tingkat
dewa. Hmm, kalau penulis sih belum
bisa seperti itu. Kalau kamu bisa bahagia sama dia, ya sama aku juga pasti
bisa.
Lalu,
ada yang bilang, “Kan cinta enggak bisa dipaksain, Dham?” Jawabnya benar, cinta
memang enggak bisa dipaksain. Tapi catat, “Cinta bisa diusahain.” Aku ini orang
Jawa, dan ada pepatah Jawa kuno yang bilang, “Wiwiting tresna jalaran saka
kulina.” Ya, translation-nya: cinta ada karena terbiasa bersama. Jadi
deketin lagi solusinya, sampai timbul rasa cinta.
Orang-orang
yang bilang ekspresi macam tadi biasanya menyerah dengan keadaan. Bukan ikhlas,
tetapi kurang berusaha. Kecuali kalau mereka sudah jatuh bangun usahanya dan tetap
tidak dapat, itu baru lain cerita. Sebab ada pepatah lain, “Terkadang kamu
menganggap dia yang terbaik untukmu, padahal bukan yang terbaik menurut Tuhan.”
Get it?
Yak, itu poinnya. Semaksimal mungkin usaha manusia, pada akhirnya Tuhan-lah
yang merestui. Namun, apa sudah maksimal usahamu untuk dapetin dia? Kalau
belum, ya coba lagi. Kalau ditolak? Ya coba lagi. Sampai, sampai kamu merasa,
“Hmm, kayaknya bukan dia.” Itu tanda Tuhan sudah nunjukkin, “Dia bukan buat
kamu. Coba cari yang lain.”
Jadi,
jangan sedikit-sedikit bilang, “Ah, ya sudahlah. Aku bahagia kok melihat dia
dengannya.” Atau, “Kalau dia bahagia, aku juga bahagia.” Atau, satu lagi, ini
kalimat putus asa yang paling sering terucap dari mereka yang cintanya tak
sampai, “Kalau jodoh ya enggak lari ke mana.” Lengkap sudah.
Untuk
para broh di luar sana, “Kalau dia penting bagimu, ya kejar, sampai dapat!”
Tulisan
ini berasal dari pemikiran subjektif pribadi. Jadi terkadang benar, terkadang
pula kurang pas. Jadi mohon dimaklumi.
Sebelum ditutup, ini ada tembang yang cocok untuk postingan ini. Silakan dinikmati!
Mungkin
sekian dulu posting untuk hari ini. Lanjut lagi lain waktu ya. Terima kasih,
semoga bermanfaat!
(IPM)
*)
Ini ya yang kutulis di interval 22.30-23.15 barusan. Enggak bikin lama nunggu,
kan? :D
Bandung, Januari 2015