Ia
baru saja memasuki minimarket di
bilangan Dago. Langit di luar tampak tidak bersahabat. Hujan, atau mungkin
sekadar gerimis tetap saja akan membuat badanmu basah tanpa bahan parasit.
Ia,
yang rambutnya lurus nun panjang mirip seorang perempuan, kuperhatikan seperti
tengah kebingungan mencari sesuatu. Mungkin, baru pertama kali ia ke mari
sehingga belum hapal letak barang yang ingin dibeli.
Aku
masih melihat gerak-gerik lelaki itu perlahan. Sementara perempuanku tengah
gamang menentukan pilihan, membeli merk ini atau itu untuk memenuhi kebutuhan
hidup bulanannya. Hmm, membosankan memang
menjadi pendorong trolley untuk perempuan yang tengah asyik berbelanja.
“Bentar-bentar,
habis ini ke kasir kok, tapi mampir ke tempat coklat dulu. Aku ngidam pengen banget,”
katanya sembari tersenyum, seperti mengerti bahwa mukaku sudah tertekuk kusut
sedari tadi.
Lelaki
itu ada di sana, di deretan coklat berbagai varian. Coklat dalam negeri berisi
kacang, kiwi, almon, mede, hingga yang pahit tanpa tambahan apa-apa. Beberapa orang
selalu punya selera yang otentik, tanpa hiasan rasa. Namun, lelaki itu masih
tak bergeming, seperti memikirkan sesuatu. Entah rasa, tampilan bungkusnya,
atau juga pricetag yang tertera. Maklum, lagi tanggal tua.
Perempuanku
hampir sama. Mengutak-atik bungkus beberapa coklat, membolak-balikkan,
mencermati komposisinya, lalu menaruh lagi di rak. Aku masih belum paham mengapa sebegitu sulit bagi perempuan menentukan
pilihan, walau cuma untuk membeli sebatang coklat.
Yap,
dia mengangguk, lalu tersenyum tipis. Sepertinya, dia tengah membayangkan
sesuatu yang membuatnya bahagia. Entah apa. Namun, saat lelaki itu hendak
mengambil white chocolate produksi Toblerone, dia menjatuhkan sesuatu. Setangkai
bunga mawar putih tergeletak di lantai, terlepas dari saku dalam jaket denim hitam miliknya.
Secepat
cheetah, dia memungut kembang itu beserta
coklat pilihannya dari rak, lalu pergi. Oh, mungkin karena malu atau risih
terhadap mata sekitar yang teliti.
___
Kami
pulang setelah hujan menjinak. Jaketku menutupi tubuhnya. Dingin. Hawa Bandung
saat seperti ini memang cukup menyebalkan. Karena dingin pula, terkadang otak
ini sedikit beku.
Di
lampu merah bawah Pasupati, yang timer-nya
hampir 120 detik, seorang perempuan yang hendak menyeberang dipaksa berhenti
oleh seorang lelaki. Di tengah jalanan yang diam, dia berlutut, mengeluarkan
setangkai mawar putih dan coklat sembari berkata, “Sudihkah kau menjadi
kekasihku?”
Perempuan
itu tersenyum, kemudian mengangguk. “So sweet ya, Sayang,” komentar perempuanku
yang menyaksi dari jok belakang motor. Namun, beringas bunyi klakson segera
saja membuat mereka minggir karena lampu mengisyaratkan warna hijau.
___
Di
depan rumahnya, aku berlutut, mengeluarkan cincin emas putih dari saku celana
seraya berbisik, “Bagaimana, Sayang, aku lebih sweet dari lelaki di traffic
light itu, bukan?”
(IPM)
Bandung, Januari 2015
#Ilustrasi diunduh dari sini