Pernah membayangkan dilahirkan
secara tidak beruntung ke dunia?
Pernah memikirkan bagaimana
menjadi anak berusia dua tahun dan hidup di jalanan?
Aku
pun tak pernah. Namun, saat Tuhan memposisikanku seperti ini, apa boleh buat,
harus dijalani.
Jangan kamu pikir aku punya
kesabaran seluas lautan. Jangan kamu kira tabah itu merupakan hal yang mudah.
Semuanya susah, Kawan!
Bayangkan
saja, saat kamu masih tertidur pulas di kasur empuk berselimut, aku berbaring
beralaskan koran di depan ruko Kota Kembang. Berapa derajat suhu udara Bandung di jam tiga pagi? Air-Conditioner kamarmu mungkin tak sanggup
mencapai dinginnya. Namun, tubuhku bisa bertahan, meski tanpa jaket ekstra.
Orang miskin tak boleh sakit,
katanya. Awalnya lucu saat membaca kalimat itu. Akan tetapi, setelah kujalani
rasanya benar juga.
Sehat saja sudah sengsara,
apalagi sakit? Ya tinggal nunggu dipanggil.
Sehari kamu makan berapa kali?
Wajarnya tiga, atau ada yang berlebih. Bagimu, ngemil, jajan tambahan, tidaklah termasuk katagori makan. “Makan ya
makan, ada nasi, lauk-pauk, sayur, buah, dan susu,” ini katamu, yang senantiasa
makan di meja oval beramai-ramai.
Kamu
salah, arti makan bagiku adalah memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Tak peduli
rasanya tidak enak. Tak peduli bekas siapa sebelumnya. Tak peduli sedikit
anyir, basi, atau kurang bersih.
Kamu tak takut sakit?
Kan sudah kubilang, orang miskin tidak
boleh sakit.
Berapa sih jumlah setelan baju
yang kamu punya? Selusin, dua lusin, atau tak terhitung akibat saking
banyaknya? Ah, kamu tak perlu repot-repot
berpikir dan menghitungnya. Aku simpulkan pasti banyak.
Setiap
bulan beli satu. Kalau ada diskon, cara marketer
menarik consumer agar membeli dengan
aji-aji penurunan harga dari biasanya, maka kamu akan membeli jauh lebih
banyak. Tanganmu itu, sepertinya dua tidaklah cukup.
Sementara
aku, hanya ada dua setel. Ini buat hari ini, lalu dicuci. Besok pakai yang satu
lagi, kemudian dicuci. Pakaian hari sebelumnya kering, ya langsung dipakai
lagi. Tanpa setrika, tanpa pelicin baju, tanpa parfum agar berbau wangi. Apa
itu, Charlie White, Hugo Boss, Chanel, dan lain-lain? Aku
tak tahu.
Karena
merasa berkekurangan, maka aku mau-tak-mau ikut bekerja. Tenang, aku ikhlas
melakukan ini. Tak pernah aku menghardik Tuhan sepertimu. Hidup ini dijalani, bukan dikeluhkan keadaannya.
Apakah hidup seperti ini akan
selamanya?
Kalau
jawabnya iya, pasti orang sepertiku, teman-temanku, orang tuaku sendiri, sudah
mengakhiri hidupnya sedari lama. Tentu
tidak, Bung!
Setiap yang di bawah akan menuju
ke atas apabila berusaha. Dan, setiap yang di atas akan jatuh ke bawah bila tak
waspada. Di sekolah formal kamu pasti diajari itu. Kalau
kamu bilang ‘tidak’, artinya kamu tertidur saat guru menerangkannya.
Boleh bertukar posisi?
Kamu tidur saja di waktu itu, sementara aku yang duduk mendengarkan gurumu
mengajar.
Apa hiburanmu di setiap akhir pekan?
Jalan-jalan ke mall, bookstore, wisata kuliner, kebun teh,
puncak, serta lain-lain yang membayangkannya saja aku kesulitan. Imajinasiku
tak sampai.
Sementara
aku, tiap Sabtu-Minggu, berselang sejam-dua jam, aku akan berlari dengan riang
menuju kolong Pasupati. Jembatan megah sebagai langit-langit rumah kami. Ada
beberapa malaikat yang menghiburku di sela kesibukan mereka.
Ada
malaikat berbaju kuning, mengajariku apa itu A-B-C-D-...-V-W-X-Y-Z. Aku baru
tahu itu disebut alfabet akhir-akhir ini. Malaikat lain, berpakaian rapi,
mendongengkan cerita binatang yang seakan-akan bisa berbicara, selayaknya aku. Kancil,
Buaya, Semut, Merpati, serta... hewan lain, aku lupa.
Malaikat
penghiburku berganti-ganti setiap minggunya. Entahlah, mungkin mereka lelah,
jadi memilih mundur. Sementara yang lain, hanya ingin coba-coba bagaimana sehari
menjadi malaikat dalam hidupnya.
Di
akhir hiburan itu, para malaikat akan memberikan bingkisan kepadaku. Makanan
ringan, alat tulis, buku bergaris, atau perkakas lain. Kamu pernah membayangkan
jadi anak dua tahun dan menerima itu dari seseorang yang tak dikenalnya? Pasti bahagia!
Dengan
riang, lantas aku berteriak, “Terima kasih, Malaikat! Terima kasih, Tuhan!”
Malamnya,
aku kembali ke jalanan. Bermimpi buruk lagi. Dicaci manusia lain yang enggan
membagi recehnya lagi. Atau, dengan muka sengak, mereka menghardik,
“Kecil-kecil sudah kerja kayak gini ya! Apa tidak diajari ibunya untuk
sekolah?”
Tolong beritahu kami caranya
hidup seperti kalian!
***
Maaf,
apabila sedari tadi aku terus membandingkan. Kalian benar! Kamilah yang salah! Kalian hebat! Kamilah pecundang!
Tapi,
kalian pasti tahu perkara ini, “Apabila manusia sudah suka dengan
sesuatu/seseorang, apapun pasti ia berikan, apalagi Tuhan?”
Tuhan tengah tersenyum saat aku menceritakan
segalanya kepadamu. Jangan iri hati! Memangnya, kamu mau berada di posisiku
saat ini?
(IPM)
Bandung, Januari 2015
#Ilustrasi diunduh dari sini
___
Cerita
ini terinspirasi ketika penulis mengikuti KBB Anak Jalanan Dago-Cikapayang di kolong
Pasupati, Bandung. Kami selalu terbuka bagi kalian yang ingin datang,
mengetahui, berbagi senyum, merasakan, bagaimana kerasnya hidup di jalanan.
Tiap
Minggu, pukul 15.30 WIB di bawah Pasupati. Kalau
ada beberapa anak berkumpul dan bergembira, di sanalah kami berada.