Setelah
libur tiga hari karena proyekan, kali ini #sketsastra akan ngebahas tentang ‘moving on’.
Sebelum
kamu baca artikel ini, akan ‘pas bin afdol’ kalau kamu udah kelarin mencerna postingan penulis sebelumnya, yakni Cerita Ketika Baru Putus Cinta. Biar lengkap bahasannya.
Oh
ya, tulisan ini spesial di-request
oleh seseorang yang dari dulu sudah putus dengan kekasih, tetapi masih
bersikeras mempertahankan hati. Beh, apa
enggak aus tuh lama-lama mengenang sendiri?
Kenapa
sih ada segolongan orang yang enggan untuk ‘bergerak’ menuju sesuatu yang baru?
Mengapa ada pula beberapa manusia yang gemar terpuruk dalam kenangan masa lalu?
Dan, satu pertanyaan pamungkas, “Memangnya sesulit itu ya ‘moving on’ dari mantan?
Well,
bentar lagi kita akan masuk ke main topic-nya.
Hmm, pelan-pelan saja ya ngebahasnya,
tapi semoga tetap cetar dan mengena.
Putus cinta itu sakit, lebih
sakit lagi itu sudah putus tapi masih cinta, katanya.
Kalimat
awalan yang super duper jleb ini akan membuka tema perbincangan kali ini. Gimana? Mau lanjut, kan? Akan tetapi,
seperti biasa, aku mau nanya dulu nih, “Mengapa putus cinta bagi beberapa orang
itu rasanya teramat sakit?”
Jawabnya
tentu, karena cintamu real, nyata.
Putus cinta akan terasa sakitnya saat cintamu padanya serius. Kalau hanya
main-main, ya pasti tidak sesakit itu ketika putus. Cinta monyet, misalnya,
barangkali tidak akan sama rasanya dibandingkan kisahmu yang kandas barusan.
Ya, sebab cimon itu cuma main-main.
Kemudian,
bagaimana caranya agar tidak sakit lagi
saat putus? Ikhlaskan, itu ilmunya.
Apapun di dunia ini yang tidak diikhlaskan pasti akan senantiasa menyakitkan.
Apa sih yang bikin sakit saat
putus cinta?
Kalau
ditilik lebih lanjut nih, sebenarnya, perasaan sakit waktu putus itu akibat
dari berhentinya kebiasaan. Bener,
enggak? Kebiasaan dikirimi ucapan ‘Good morning’ sewaktu pagi, diingetin,
“Sudah makan apa belum?” di penghujung siang atau malam, dianterin ke mana-mana
bareng dia, dan sebagainya, yang sebetulnya masih banyak lagi momen yang
sengaja kalian cipta berdua.
Dan...
pada akhirnya, ‘moving on’ itu bukan
soal melupakan perasaan atau kenangan dengannya, melainkan tidak lagi terbiasa
mengharapkan kehadiran atau kebersamaan bareng dia. Catet itu!
“Nah,
terus gimana dong, Dham, solusinya?”
Setelah
tadi mengikhlaskan dia pergi, lalu
sekarang syukuri. Lho, kok syukuri? Iya, syukuri bahwa
kamu ternyata telah ‘mampu’ untuk mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.
Kan, kalau dulu cintanya enggak bener-bener, pasti enggak akan sesakit ini
waktu putus.
Kemudian,
“Lebih baik putusnya sekarang, atau nanti?” Hmm,
ya lebih baik enggak putus lah ya. Namun, ini kasusnya karena kamu enggak
cocok atau enggak baik ketika bareng dia, mangkanya hubungan kalian kandas. Maka, bersyukurlah.
Namun,
ada lho yang kasusnya begini, “Aku udah mensyukuri putus karena dia tidak baik
bagiku. Tapi, dia yang tidak baik itu ternyata yang terbaik bagiku.”
Hmm,
ini biasanya suara hati perempuan, yang berkata seperti ini. Putus dari lelaki kurang baik, tapi
menganggapnya yang terbaik.
But, I’m sorry, girls,
aku harus bilang bahwa ini tindakan kurang logis. Mengapa? Sebab kamu mengharapkan orang yang tidak baik untuk terus
bersamamu. Bahkan, kamu menjadikannya yang terbaik. Agak enggak paham, tapi ya begitulah cinta, terkadang logika di-anaktiri-kan.
Orang yang move on, janjinya,
akan mendapat cinta yang lebih baik, kata motivator.
Ada
benernya juga, karena setelah putus, kamu akan mendapat chance baru untuk mengenal seseorang, yang seharusnya lebih baik
daripada dia yang sebelumnya.
Namun,
lagi-lagi namun. Berapa banyak orang yang
putus cinta justru berubah jadi tidak menarik, bahkan untuk orang yang
terdahulu, ya apalagi untuk orang yang baru? Mereka akan menghabiskan tisu
untuk menangis, mengurung diri di kamar, males makan karena apa-apa ingetnya
dia, tidak memperhatikan penampilan, dan akut galaunya.
Hmm, berapa banyak yang seperti
itu?
Rasa-rasanya cukup banyak. Dengan
berlaku layaknya di atas, secara tidak langsung kamu hanya merindukan masa lalu
yang buruk, dan menyepelekan masa depan yang terbuka. Move on!
“Lalu,
anjurannya apa, Dham?”
1. Move away
Terkadang,
cara paling simple untuk menginisiasi
‘move on’ ialah dengan ‘move away’. Menjauh, sederhananya.
Cobalah untuk menjauhi apa-apa saja yang membuatmu mengingat kembali keadaan yang
kamu rindukan dulu.
Kalau
kamu dulu sama mantanmu itu sukanya makan di rumah makan Padang, cobalah untuk
tidak sarapan di sana lagi. Besok-besok, makan paginya di warung Sunda atau
Jawa saja. Terus, misalnya, dulu kalian hobi banget baca komik gratisan di toko
buku Jalan Merdeka, mulailah untuk mengubahnya dengan jadi ‘maniac’ novel-novelnya Tere Liye atau
Ika Natassa. Ya, dan juga kebiasaan lain, cobalah untuk menjauhinya.
“Kalau
tetap enggak lupa, gimana dong, Dham?”
Sabar, kebiasaan itu ya memang
begitu, susah untuk dilupakan. Tetapi, bukan berarti enggak bisa, kan?
Semangat!
2. Balik ke kehidupan lamamu
Kalau
kamu udah move away, mulailah kenalin
diri pada kehidupan lama yang sudah kamu tinggalin. Contohnya, orang tua yang
diabaikan, sahabat yang jarang disapa kabarnya, hobi menulis yang ditinggalkan,
atau yang lain. Ya, sebab dulu kamu sibuk banget sama dia hingga melupakan
hal-hal penting ini, yang sebenernya ‘kamu butuhkan di saat terpuruk’.
Mau
nanya nih ya, “Dulu kan pernah bahagia toh sebelum kamu sama dia? Nah, terus
kenapa sekarang tidak bahagia waktu udah enggak sama dia?”
Ini
lucu ya, harusnya, kamu tetap bisa pasang raut muka bahagia meskipun tanpa
dirinya. Bisa! Cobalah!
3. Make The New You
Ini
istilahnya agak tidak lazim. Namun, ya seperti itu adanya, jadilah dirimu yang
baru. Berubahlah jadi lebih baik. Ini bukan dendam, tapi untuk kamu yang
ditinggalkan karena pengkhianatan, buatlah dia merasa menyesal karena
‘membuang’ mutiara sepertimu untuk intan yang bahkan belum jadi, alias arang.
Ya,
hiduplah secara normal. Bukan lagi hidup dengan meratap, mengharapkan seseorang
yang tidak cocok. Bukankah tiap yang
baik, akan selalu dipasangkan dengan yang baik pula? Itu janji Tuhan, yang takkan
pernah ingkar.
___
Kalau
beberapa saran di atas sudah kamu lakuin, rasanya ‘moving on’ bukanlah perkara sulit, tetapi logis yang mau-tak-mau
harus dilakukan.
Hiduplah
seperti kini, sederhana, supaya bisa jatuh cinta lagi kepada orang lain, tetapi
dengan pengalaman dan pelajaran dari gagalnya cinta dengannya.
Sebab,
cara terbaik untuk move on dari patah
hati adalah... dengan jatuh cinta lagi, kepada dia yang lebih baik.
Sudah sedikit menyembuhkan patah
hatimu, kan?
Mungkin
sekian posting mengenai ‘moving on’ kali ini. Lagi-lagi, ini
bukanlah murni pemikiran penulis. Beberapa unsur luar seperti buku yang pernah
dibaca, film yang pernah ditonton, musik yang pernah didengar, serta pengalaman
yang pernah dilewati, penulis kompilasikan menjadi satu merupa tulisan ini.
Semoga
kamu, iya, kamu, yang baru putus cinta sanggup ‘move on’ secara anggun dan elegan. Buatlah dirimu menjadi pribadi menarik untuk dia yang lebih baik!
Terima
kasih, salam hangat.
(IPM)
Bandung, Januari 2015