Rasa sakit tidak selamanya tak berharga sehingga
harus selalu dibenci. Sebab, mungkin saja, rasa sakit itu justru akan
mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
Biasanya, ketulusan sebuah doa akan muncul tatkala
rasa sakit mendera. Demikian pula dengan untaian pengingat Asma Tuhan yang
senantiasa terucap ketika rasa sakit terasa.
Bukankah beban berat dan jerih payah saat menuntut
ilmulah yang mengantarkan seorang pelajar menjadi ilmuan terkemuka? Bukankah
kerja keras seorang penyair memilih kata-kata untuk bait syairnya yang
membuatnya menghasilkan karya sastra luar biasa? Bukankah upaya tiada henti
seorang penulis yang menjadikan tulisannya begitu sangat menarik dan penuh ibrah?
Ia yang telah
susah payah di awal perjalanan, akan bisa menikmati kesenangan pada akhirnya.
Lain halnya dengan seorang pemuda yang senang
hidup berfoya, tidak aktif, tak pernah terbelit masalah, dan tiada pula pernah
tertimpa musibah. Ia akan selalu menjadi orang yang malas, enggan bergerak, dan
mudah putus asa.
Pelaut ulung
tidak terlahir pada perairan tenang.
Di dunia ini, banyak orang yang berhasil
mempersembahkan karya terbaiknya dikarenakan mau bersusah payah. Al Mutanabbi,
misalnya, ia sempat mengidap demam yang amat sangat sebelum berhasil
menciptakan syair yang indah. Belum lagi yang lain.
Tidaklah
seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, nestapa, bencana, derita, penyakit,
hingga duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah dengannya, akan mengampuni
kesalahan-kesalahannya. (Sabda Rasul)
Kami jelaskan
yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput
darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. (QS. Al-Hadid: 23)
Semoga kamu lekas pulih, sembuh yang tidak akan
pernah kambuh-kambuh lagi.
(IPM)
Bandung,
Februari 2015
*) Beberapa larik dikutip dari La Tahzan
**) Ilustrasi diunduh dari sini