Memiliki
seseorang untuk berbagi adalah sebuah anugerah. Bagaimana tidak, setiap manusia
dilahirkan dengan bekal pandai bercerita. Mengenai banyak hal, tentang hidup, alam,
pekerjaan, keseharian, hingga perihal diri sendiri yang tidak pernah habis
dibicarakan.
“Aku
itu sukanya ini. Aku itu senang kalau melakukan ini. Bagaimana menurutmu?” kalimat
itu seringkali keluar ketika kamu dan aku berkisah sembari menikmati sajian.
Lama sekali kami membunuh waktu dengan topik sepele yang terkadang tidak perlu.
Kalau
disimak, obrolan tersebut sebenarnya diperuntukkan kepada diri sendiri. Kamu
ingin bercermin tentang apa yang ada dalam dirimu, tentu dengan dibumbui
ungkapan ‘setuju’ dari orang lain.
Matamu
pasti berubah ‘sipit’, bibirmu merupa ‘lengkung’, dan dari pipimu tetiba saja
timbul ‘lubang dekik’ ketika aku
memberi tanggapan, “Wah, kamu suka ngelakuin
itu ya? Bagus itu, ayo lanjutkan! Aku dukung!”
Bila
terus dilanjutkan, pasti tiada pernah berakhir. Dan, itulah cita-cita, memiliki
partner yang bisa diajak bercerita
sampai kelu lidah tak terasa lelahnya. Namun, tentu bukan sekarang. Tidak dalam
waktu dekat.
Mengapa?
Sebab belum saatnya. Ada momentum yang ‘pas’ untuk sesuatu dapat terjadi. Ada
yang disebut ‘segalanya indah tepat pada waktunya’ dalam hidup. Ada pula ‘skenario
alam’ dari Sang Pemilik Hidup untuk mempertemukan.
Semoga
perkenalan ini semakin meyakinkan nun menguatkan. Semoga pula kamu mengerti,
inilah caraku menjagamu... dengan jalan memberi jarak.
(IPM)
Bandung, Maret 2015
#Ilustrasi diunduh dari sini