Ditemani secangkir mandaeling yang tidak lagi panas, kamu mulai bercerita. Seperti biasa, di kedai kopi ini, bersama dekorasi dan suasana yang hampir sama. Namun, kamu berbeda. Ada yang menggantung di ujung matamu. Apakah itu?
Tentu, aku hanya akan bergeming melihatmu. Tanpa aba-aba, kamu justru ambil inisiatif angkat bicara. “Aku mau cerita,” katamu, yang kutahu ada sesuatu di balik perjumpaan ini.
“Kenapa?
Karna dia lagi?” aku bertanya, setengah menyerngit.
“Ya,
siapa lagi...” pendek saja jawabmu, tetapi menyembunyikan banyak sekali
kebimbangan. Aku pun tahu, dari bahasa tubuhmu, mengisyaratkanmu bingung untuk
mengawali kisah dari mana.
Saat di pikiranmu banyak sekali
topik yang ingin disampaikan, justru kamu mewujud diam, gamang menceritakan.
Kalau
sudah begini, aku pasti akan menyilangkan tangan di depan dada, memberimu jeda
untuk bicara.
Dongeng
darimu dimulai, dengan sesenggukan, dengan terbata-bata, satu demi satu alinea
kamu suguhkan. Pertanyaan tentang apa, mengapa, dan bagaimana kamu lontarkan
dan kamu sendiri pula yang memilihkan jawaban.
Semacam monolog.
Sesekali,
kamu akan mengutuk dirimu sendiri yang terlalu bodoh mengharapkan seseorang
untuk hadir di sela sibuknya hari. Dia, yang kamu takzimkan merupa pangeran,
ternyata hanyalah prajurit yang gagal sebelum berperang. Dia, yang bernyali besar
di awal, berubah kerdil dan pengecut di belakang. Dia, yang janjinya selangit,
pada akhirnya hanya merupa karung lusuh penuh bualan.
Tak berarti.
Pada
kalimat ke sekian, air matamu jatuh lagi. Tetap saja, sama selayaknya di awal,
aku tak akan menepuk pundakmu dan berkata, “Sudah... sudah...” Bukankah
menangis adalah bahasa bagi mereka yang merasa? Bukankah yang berlinang tidak
selalu dianggap lemah?
Mereka yang menangis, bukan
mereka yang tak mampu bertahan dari masalah. Bukan. Mereka menangis karena
mereka manusia.
Sudah
barang sejam, aku bersandar di kursi ini. Lengan kemejaku, yang ketika datang
masih dibiarkan memanjang, kini sudah terlipat di atas siku. Logam rantai arloji
juga terasa berubah dingin, berlomba dengan hawa Kota D sesaat menjelang petang.
Kulihat,
sepasang mata itu menatap jauh ke sisi jalanan, melihat hujan yang mulai
berhenti berganti gerimis. Sebagaimana sedihmu, semoga serupa dengan rintik
itu, perlahan tak jatuh lagi.
Seperti
yang sudah-sudah, aku tak akan memberimu selarik solusi. Tak perlu. Buat apa? Kamu
tidak membutuhkannya. Kamu pun aku yakini tahu apa yang harus dilakukan setelah
ini: melanjutkan hidup dengan menanggalkan yang memberatkan.
Terkadang, perempuan bercerita
bukan bermaksud memintamu memberi jawaban atas permasalahannya. Mereka hanya
butuh satu: didengarkan.
“Aku
masih sanggup jadi telingamu, mengapa kamu berhenti bicara?” pungkasku, ketika kamu
tetiba diam.
“Boleh
gantian? Boleh aku yang jadi telingamu sekarang?”
(IPM)
Bandung, Mei 2015
#Ilustrasi
diunduh dari sini