Setelah
beberapa minggu fokus ke bahasan tugas akhir, skripsi, dan seminar, akhirnya penulis
butuh juga yang namanya ‘penyegaran’. Caranya?
Sederhana, kalau enggak makan, ya baca buku. Dan, bersebab ingin santai sejenak,
buku Koala Kumal-nya Radit menjadi
pelampiasan.
Sekilas,
buku ini ber-genre humor remaja biasa.
Namun, kalau ditilik lebih lanjut, kisahnya mayoritas tentang percintaan yang
dibumbui komedi-realita. Lebih spesifik, membahas CERITA PATAH HATI. Dari
beberapa cerpen di sana, di bagian akhir buku, aku menemukan bagian yang
menarik dari peristiwa patah hati. Apa itu?
Penasaran? Silakan dibaca cuplikan tulisannya.
____
Seorang
senior gue di SMA pernah bilang, patah hati itu seperti serial anime Dragon Ball. Setiap kali Son Goku,
jagoannya, kalah dari musuhnya, dia akan kembali lagi jauh lebih kuat. Patah
hati seharusnya seperti itu, dari setiap kekecewaan, kita akan makin kuat dalam
menghadapi problem percintaan
berikutnya.
Tapi
kenyataannya, banyak orang yang sehabis patah hati malah jadi tambah galau.
Mukanya tambah bengkok, bibirnya manyun ke dalam, matanya tambah bengkak. Orang
kayak gini setiap mendung datang pasti nempelin muka ke jendela sambil terisak
bilang, “Kenapa kamu jahat?”
Dalam
perjalanan hidup sejauh ini, gue sering ngelihat orang patah hati. Ada teman
gue, cewek, yang lagi makan Indomie
di kampusnya, ditelepon oleh pacarnya. Dia diputusin lewat telepon. Saat itu
juga, dia langsung pergi ke rumah mantannya. DI pinggir Jalan Rawamangun,
Jakarta Timur, dia teriak-teriak sambil bawa botol sambal, “Kamu pasti akan
menyesal! Kamu pasti akan menyesal!” Ya, saking buru-burunya pergi, sambal Indomie-nya juga terbawa.
Ada
teman yang lain, cowok, sewaktu pacaran dia ngasih ceweknya laptop, bayarin
keanggotaan Celebrity Fitness, bahkan sampai membelikan tas-tas mahal. Sewaktu
mereka putus, si cowok ini minta semua barangnya dibalikin. Entah dendam atau
pelit, gue gak ngerti.
Lain
lagi tingkah teman gue, seorang cowok penulis skenario film layar lebar. Ketika
putus, dia minta semua surat cinta yang dia tulis untuk pacarnya dibalikin. Gue
sempat nanya ke dia, “Lo kenapa, sih, harus minta surat cinta yang lo kirimin
itu?” Dia bilang dengan santai, “Supaya kalau gue punya gebetan baru, gue bisa
ngasih dia surat cinta yang gue tulis itu. Tinggal namanya aja yang diganti.”
Masuk akal.
Pito,
teman SMA gue, adalah orang yang semasa SMA selalu ditolakin sama gebetannya.
Bukannya sedih, dia malah menjadikan rasa pahit itu sebagai motivasi hidup. Gue ingat, pada suatu
siang di kantin sekolah, Pito bilang ke gue, “Gue barusan ditolak sama Febby.”
“Dia
bilang apa?” tanya gue sambil memakan ayam panggang. “Dia gak bilang apa-apa,”
kata Pito. “Diam aja?” tanya gue, “Ya, baguslah, setidaknya dia gak ngomong
apa-apa yang nyakitin.”
“Dia
gak ngomong apa-apa, tapi dia ngasih gue cermin,” kata Pito. “Kayaknya gue
disuruh ngaca. Gue disuruh sadar diri, bahwa gue gak pantes buat dia.”
“Buset.
Itu sakit, sih,” kata gue. “Sakit banget,” Pito menghela napas panjang, sambil
mengurut dadanya, “Lo tahu apa yang gue bakal lakuin?”
“Apa?”
“Gue
bakalan sukses, Dik. Gue bakalan belajar keras, gue bakal masuk universitas
bagus, dan gue bakal punya pekerjaan yang hebat. Gue bakal ngebuat semua cewek
yang dulu nolak gue jadi menyesal. Gue pengen lima belas tahun lagi, sewaktu
mereka lagi nonton TV, mereka bakal nemuin gue lagi diwawancara dan mereka
bakal bilang, ‘Itu dulu cowok yang gue tolak, gue menyesal, gue mau mati aja,
ah.’ Gitu, Dik.” Mata Pito berkaca-kaca dengan semangat tinggi.
“Mudah-mudahan
aja berhasil, deh.” Pito mendengus mantap.
Lima
belas tahun belum berlalu, tetapi Pito bisa dibilang sudah sukses. Dia sekarang
menjadi manajer di sebuah perusahaan susu. Dia baru saja membayar down payment untuk rumah sendiri. Dia
sudah menikah dan bahagia. Febby?
Tidak ada yang tahu kabarnya sampai sekarang.
(Dikutip dari Koala Kumal hal
236-238, Raditya Dika)
____
Banyak
reaksi yang timbul ketika patah hati. Sedih, pasti. Kecewa, apalagi. Namun, apa
harus terus meratapi? Bagaimana kalau kamu
memilih menjadi Pito saja, yang saat patah hati, justru bergerak memperbaiki
diri?
Selalu
ada pelajaran dari setiap ‘patah hati akibat seorang tercinta’. Apa itu? Kamu menjadi semakin dewasa.
(IPM)
Bandung, Mei 2015