.
Tak
seperti tahun-tahun sebelumnya, dua hari lalu dia bergegas pulang ke rumah.
Kembali ke kota kelahiran dari perantauan panjang di negeri orang selama
bergenap bulan.
Dia
masih saja bersikeras, meskipun beberapa rekan sempat bertanya, “Santai-santai
dululah di sini, menikmati hari.” Namun, tekadnya sudah bulat, dia ingin
pulang.
Makna
pulang ialah kembali, dari suatu jarak yang memisahkan membentuk sebuah elegi.
Sebagaimana kamu, dia juga merasakan rindu. Rasa ingin bertemu untuk menguapkan
segala kekhawatiran.
Dia
rindu pada suasana di sana, yang sedari pagi sudah terik, siang berkeringat,
dan sore hingga malam yang tak teduh. Dia kangen pada situasi di sana, rumah tetangga
yang berdekatan, anak kecil ingusan berlarian, warung nasi yang tak pernah
tutup, serta paving block warna-warni
yang tertata rapi di sepanjang jalanan.
Teramat
berat kepalanya menahan rasa ingin jumpa. Malam di kereta, dia selalu memandang
ke arah luar jendela, yang gelap gulita, yang sepi tak bertepi, serta yang
diam-diam dari kacanya memantulkan bayangan wajahnya sendiri.
Mengapa lama sekali jarum jam
berdetak di dalam kereta ini? Dia mulai tak sabar.
Kamu
pasti akan mengerti bila waktu terasa begitu melambat ketika pertemuan ingin
segera dituntaskan. Kamu pun juga akan memahami, tujuan terbesar setiap insan
setelah berpetualang menaklukkan dunia ialah satu: pulang ke rumah dalam keadaan damai.
Dia
pun sama sepertimu. Bergenap bulan lalu, di Bumi Parahyangan, pikirannya sering
melayang entah ke mana. Terbang ke memoria lama, tentang kelahirannya, perihal bagaimana
dia dibesarkan oleh sepasang tangan yang kuat tetapi lembut penuh sayang,
hingga momen ketika dia harus keluar, meninggalkan rumah untuk menggambar garis
tangannya sendiri.
Perkataan
ayahnya benar, “Merantaulah. Kalau kamu ingin jadi lelaki, keluarlah dari
rumah.” Dia masih hapal jelas bagaimana intonasi lelaki paruh baya itu ketika
melantangkan dialog. Dia juga masih jelas terbayang akan air muka yang dipasang
ayahnya saat memberi pelajaran hidup. Dia pun masih ingat, tahun ini, adalah
tahun ke sembilan semenjak ayahnya pergi dipanggil Sang Pemilik Hidup.
Dia harus pulang.
Dini
hari di kereta merupakan jam riskan untuk berangan macam-macam. Dari diri
sendiri, teman duduk sebangku, orang di kursi samping, hingga petugas yang
berlalu lalang menawarkan sajian tengah malam dia amati. Sangat teliti.
Terlampau detil.
Bagaimana
rekan satu tempat duduknya yang gelisah ketika memejam, entah tak ingin
menyegerakan esok, atau ada beberapa kenangan yang tertinggal, dia perhatikan
tapi tidak mengerti. Bagaimana posisi terhuyung pelayan kereta ketika berjalan,
entah bersebab sedang sakit, atau merasa putus asa sebab kepala
memerintahkannya bekerja di malam buta. Hingga, bagaimana ada seekor kupu-kupu
yang hinggap di langit-langit gerbong, sedari berangkat sampai kini tidak
bergerak sedikitpun dari tempatnya.
Dia mencatat semuanya, untuk
diceritakan padaku kini.
Dari
sekian banyak kisahnya, satu episode terpanjang yang dia curahkan ialah tentang
wanita perkasa bernama Ibu. Kutuliskan Ibu, meski sebenarnya dia memanggil
dengan sebutan lain: Mama. Apalah arti
sebuah nama, jikalau dulu kau namakan mawar dengan panggilan lain, ia tetap
saja wangi.
“Kalau
aku sampai bisa berada di titik ini sekarang, itu bukan karena aku hebat. Bukan
sama sekali. Itu semua karena satu, doa dari Ibuku,” katanya.
Di
awal, entahlah, aku merasa dia cukup berlebihan menyanjung kehebatan ibunya.
Seakan-akan ibunya sungguh sempurna. Selaksa ibunya itu tanpa kurang atau
alpha. Ibarat tak ada seorang wanita lain yang dia cinta, melebihi cintanya
kepada ibunya.
Aku
yang suka bercanda, tentu menggodanya dengan pertanyaan macam, “Lebih cinta
mana, kepada Ibumu, atau kepada kekasihmu?” Dengan enteng dia menjawab ala kadarnya, “Ya ke Ibu lah, retoris sekali.”
Kemudian,
sembari menghabiskan kudapan sebagai imbalan karena telah membantu memberikan surprise untuk ulang tahun Ibunya, di
teras rumahnya, aku dan dia bercakap lagi. Namun, di akhir cerita, aku sadar
bahwa seluruh perkataannya benar.
Selesai
pertemuan itu, aku ingin menelepon Ibu, ingin mengungkapkan rasa rindu. Minggu
depan, seperti dia, aku ingin pulang.
___
Sengaja
aku menuliskan lengkap kisahnya kepadamu. Bila kamu bertanya, “Siapakah dia?” Maaf,
aku tak bisa memberi tahu namanya. Yang jelas, hari ini dia tengah berbahagia,
merayakan kebersamaan bersama Adik dan Ibunya yang tengah bertambah usia, di
rumah.
(IPM)
Surabaya, 2015