Kamu
ialah pribadi yang paling pandai menutupi perasaan. Namamu, Lelaki. Aku
mengenalmu baru sejengkal waktu. Kala takdir mempertemukan kamu dan dia, entahlah, kamu
berusaha menghalau kehadirannya.
“Ah,
tidak sekarang,” ujarmu.
>
>
Diam-diam
saja kamu mulai memperhatikan dia dari jauh. Separuh hatimu berkata jikalau
benar kamu ‘gila’ ketika berada di dekatnya. Ingin sekali kamu merupa pelindung
baginya. Tak pernah absen kamu mencari tahu: apa yang dia lakukan, bagaimana
harinya, serta yang paling sederhana, menu makanan apa yang akan dia santap
nanti malam?
Orang yang tengah jatuh cinta ya
begitu, merupa pemerhati sejati.
Namun,
separuh hatimu yang lain menolak untuk mengakui. Ingin sekali kamu membunuh
rasa itu dengan berbagai cara. Satu yang paling ampuh ialah dengan menyibukkan
diri. Kamu mulai aktif di sana-sini. Setiap kegiatan diikuti, sekadar mencari
relasi dan pengalaman, atau juga menutupi kegundahan agar dia tak selalu
dipikirkan.
Benar
saja, kamu tidak pernah melamun sepanjang hari. Pagi sudah pergi, siang duduk
di depan layar menyelesaikan satu tugas, sore bersiap menunaikan segala to do list yang belum tuntas, dan
malam... sebelum kamu terlelap, adalah waktu di mana kamu tak pernah berdamai
dengan realita: memikirkan dia.
Ya, kenyataan tak pernah
berdusta, kamu memang menyukainya.
Ketika
dia berada di dekatmu, lucu sekali tingkahmu berubah, menjadi tidak biasa. Sebentar-sebentar
kamu membenarkan rambut, mengusap dahi yang berkeringat, membetulkan posisi
duduk, hingga yang paling kentara yakni terbata jika berbicara.
Benar
kata orang, saat di mana kamu jatuh
cinta, seringkali kamu akan salah tingkah.
“Mengapa
tak kamu ungkapkan saja?” aku bertanya kepadamu, yang seminggu ini kamu bercerita
lengkap tentang dia.
“Aku
merasa dia tak memiliki rasa yang sama.”
Laki-laki
semacam ini bukanlah dia yang kalah sebelum berperang. Bukan pula dia yang tak
bernyali. Namun, dia memikirkan kemungkinan bila cintanya berbalas, akan dibawa
ke mana jalan cerita setelahnya harus sudah jelas.
Tidak ada yang benar-benar siap
dalam satu hubungan. Semua butuh proses dan permulaan.
“Kamu
itu terlalu banyak pertimbangan. Kamu juga terlalu khawatir bila rasamu akannya
berseberangan,” pungkasku.
Terus
saja kamu membenamkan perasaanmu itu. Jauh lebih dalam. Jauh lebih kelam.
Hingga pada akhirnya, setiap rasa yang terpendam, hanya akan menjadi balon yang
terus dipompa udara, ya, suatu ketika akan meluap juga.
“What if?”
“Apa
maksudmu?” sergahmu balik bertanya ke arahku.
“Iya,
bagaimana jika dia juga sama sepertimu. Sama-sama kepala batu. Sama-sama
menyimpan rasa tetapi tak mau mengaku. Sama-sama cinta... dan berharap kamulah
yang akan lebih dulu memulainya.”
____
Perempuan itu peragu. Lelaki yang
tahu, pasti takkan membuat dia terlalu lama menunggu.
(IPM)
Surabaya, 2015