Usahamu
untuk mendapatkan dia sudah kelewat batas, menurutku. Sekadar menarik
perhatiannya barang sebentar, berbagai cara kamu lancarkan.
Kamu
pernah hampir sejam memilih setelan baju saat dia mengajakmu ke luar: makan
malam. Kamu begitu ingin terlihat sempurna di depan mata indahnya. Sepatu
dipoles mengilat. Baju dirapikan hingga lekuknya tak ada. Sampai-sampai,
sebelum berangkat kamu mampir ke tempatku dahulu guna menanyakan, “Gimana,
udah pas, kan?”
“Iya,
mantap,” responku singkat.
Jamuan
makan pun berlangsung biasa saja. Dia, justru tampil seadanya. Bahkan, dia
datang terlambat dan membuatmu lama menunggu. Duduk bengong, berpura main gadget, dan memperhati sesiapa yang
datang, ialah alibimu menutupi penantian.
“Mungkin
dia lagi sibuk, sampai lupa jam berapa harus datang,” kamu menghibur diri,
memoles kekecewaan dengan pemakluman.
Di
lain kesempatan, kamu mengajaknya ke suatu tempat. “Dia pengen banget ke sana,
maka aku jadikan kejutan saja,” ceritamu kepadaku setelah rencanamu
terealisasi. Lalu, bagaimana
tanggapannya? “Ya, dia senang, bahagia sekali. Aku bisa melihat itu dari
wajahnya,” tutupmu.
Kamu
dan dia sering bertukar kabar. Meski jarang bertatap muka, aplikasi media
sosial menjadi obat sekaligus solusi untuk problematika ini. Rajin sekali kamu
menanyakan kabar kepadanya. Dari yang singkat semisal, “Kamu udah bangun? Hari
ini mau ngapain?” sampai ke topik serius, “Kamu lagi sakit? Aku antar ya ke
dokter.”
Ya,
kalau aku perhatikan, kamu itu benar suka kepadanya. Kamu berusaha menjadi
jawaban dari setiap tanya yang terlontar darinya. Namun, aku justru menaruh
kasihan kepadamu.
Kamu kehilangan dirimu sendiri,
terlebih waktumu.
Dia,
yang kamu sanjung bagaikan dewi atau permaisuri, tak pernah menaruh khawatir
ketika kamu jatuh sakit. Dia, yang kamu puji merupa perempuan terbaik, nyatanya
tidak ada di sampingmu saat beban dunia ingin menelanmu utuh. Dia, yang kamu takzimkan
merupa masa depanmu, justru ragu-ragu dan acuh kepadamu.
Apakah itu yang dinamakan cinta?
Tidak
ada yang benar-benar tulus hanya memberi di dunia ini, kecuali mentari.
Dan
kamu... tentulah bukan matahari.
(IPM)
Surabaya, Juni 2015