Tulisan
ini merupakan lanjutan cerita dari postingan sebelumnya, Perempuan Peragu dan Lelaki Kepala Batu.
Semenjak
kedekatan kamu dan dia mengambang, aku sudah tahu jikalau masing-masing dari
kalian menaruh perasaan yang sama.
Rasa saling suka.
Kamu
begitu memperjuangkan dia agar mau merupa kekasihmu. Sebab, kamu tahu bila
konsep pasangan idaman sungguh lengkap berada padanya. Dia itu ini, dia itu begini, begitu, serta hal lain yang mengisyaratkan
sempurna.
Sama
halnya seperti menilai kecantikan seseorang, memilih kekasih untuk dijadikan
pendamping hidup ialah juga ‘perihal konsep’. Ya, konsep yang dibentuk oleh
dirimu sendiri. Melibatkan lingkunganmu, latar pendidikanmu, buku bacaanmu, nasihat
orang tuamu, serta kepribadianmu yang lebih utama. Harus yang pintar, mudah
bergaul, murah senyum, anggun, dan... semua yang kamu sebutkan barusan ialah
konsep.
Bila kamu nantinya bersanding
dengan seseorang yang sangat diidamkan, sesungguhnya kamu telah memilih dia karena
sesuai dengan konsepmu.
Anganmu
akan dia nyatanya bersambut. Tak bertepuk sebelah tangan. Dia juga menyimpan
rasa yang sama. Diam-diam saja, khas seorang wanita, dia balik mengagumimu. Dia
sudah mengenalmu jauh di masa lalu, saat kamu belum seperti sekarang, dan dia
masih selayaknya gadis muda yang baru melihat dunia.
Sama-sama polos.
Keputusan
kamu dan dia untuk melantunkan janji bersama selalu saja urung dilakukan. Ada
saja keraguan. Kamu terlalu banyak pertimbangan mengenai ‘bagaimana jika’ dan
‘kalau saja’. Dia, yang seyogyanya sama sepertimu, pun acapkali melakukan hal
yang sama. Terlalu pemikir.
“Aku
belum siap,” kata dia ketika kamu menanyakan ingin bersambang ke rumah.
Lain
kesempatan, justru kamu yang membalas kegamangannya, “Hmm, aku masih ragu-ragu
berjalan lebih jauh.”
Kamu
selalu menganggap ada banyak sekali perbedaan di antara kalian yang sukar
sekali mencapai titik temu. Tentang persamaan mengenai pandangan hidup, tujuan, kesukaan
buku bacaan, menu masakan, mengisi waktu luang, hingga kerikil-kerikil tajam
lain yang sakit bila diinjak dengan kaki telanjang.
Selayaknya
cermin, dia juga menaruh khawatir. Kebimbangan dia akan komitmen kebersamaan
selalu diagungkan. Dia takut kehilangan waktunya, kesempatan mengejar cita yang
belum tertunaikan, serta hal lain yang terlalu sepele untuk diutarakan.
Tidak ada yang sudah betul-betul
siap dalam memulai sebuah hubungan.
.
.
Kurasa,
ada yang selalu kamu dan dia lupakan. Bahwa
pada awalnya, tidak ada yang bisa disebut pasangan sempurna. Setiap darimu pasti
ada masalah, pasti ada kendala.
Namun,
bukankah tugas kalian satu setelah memutuskan untuk bersama: berdua saling menyempurnakan dalam cinta?
___
Aku sudah tidak lagi ragu,
bagaimana denganmu?
(IPM)
Surabaya, Juni 2015