Tak Lagi Ragu

June 23, 2015






Tulisan ini merupakan lanjutan cerita dari postingan sebelumnya, Perempuan Peragu dan Lelaki Kepala Batu.

Semenjak kedekatan kamu dan dia mengambang, aku sudah tahu jikalau masing-masing dari kalian menaruh perasaan yang sama. Rasa saling suka.

Kamu begitu memperjuangkan dia agar mau merupa kekasihmu. Sebab, kamu tahu bila konsep pasangan idaman sungguh lengkap berada padanya. Dia itu ini, dia itu begini, begitu, serta hal lain yang mengisyaratkan sempurna.

Sama halnya seperti menilai kecantikan seseorang, memilih kekasih untuk dijadikan pendamping hidup ialah juga ‘perihal konsep’. Ya, konsep yang dibentuk oleh dirimu sendiri. Melibatkan lingkunganmu, latar pendidikanmu, buku bacaanmu, nasihat orang tuamu, serta kepribadianmu yang lebih utama. Harus yang pintar, mudah bergaul, murah senyum, anggun, dan... semua yang kamu sebutkan barusan ialah konsep.

Bila kamu nantinya bersanding dengan seseorang yang sangat diidamkan, sesungguhnya kamu telah memilih dia karena sesuai dengan konsepmu.

Anganmu akan dia nyatanya bersambut. Tak bertepuk sebelah tangan. Dia juga menyimpan rasa yang sama. Diam-diam saja, khas seorang wanita, dia balik mengagumimu. Dia sudah mengenalmu jauh di masa lalu, saat kamu belum seperti sekarang, dan dia masih selayaknya gadis muda yang baru melihat dunia.

Sama-sama polos.

Keputusan kamu dan dia untuk melantunkan janji bersama selalu saja urung dilakukan. Ada saja keraguan. Kamu terlalu banyak pertimbangan mengenai ‘bagaimana jika’ dan ‘kalau saja’. Dia, yang seyogyanya sama sepertimu, pun acapkali melakukan hal yang sama. Terlalu pemikir.

“Aku belum siap,” kata dia ketika kamu menanyakan ingin bersambang ke rumah.

Lain kesempatan, justru kamu yang membalas kegamangannya, “Hmm, aku masih ragu-ragu berjalan lebih jauh.”

Kamu selalu menganggap ada banyak sekali perbedaan di antara kalian yang sukar sekali mencapai titik temu. Tentang persamaan mengenai pandangan hidup, tujuan, kesukaan buku bacaan, menu masakan, mengisi waktu luang, hingga kerikil-kerikil tajam lain yang sakit bila diinjak dengan kaki telanjang.

Selayaknya cermin, dia juga menaruh khawatir. Kebimbangan dia akan komitmen kebersamaan selalu diagungkan. Dia takut kehilangan waktunya, kesempatan mengejar cita yang belum tertunaikan, serta hal lain yang terlalu sepele untuk diutarakan.

Tidak ada yang sudah betul-betul siap dalam memulai sebuah hubungan.
.

Kurasa, ada yang selalu kamu dan dia lupakan. Bahwa pada awalnya, tidak ada yang bisa disebut pasangan sempurna. Setiap darimu pasti ada masalah, pasti ada kendala.

Namun, bukankah tugas kalian satu setelah memutuskan untuk bersama: berdua saling menyempurnakan dalam cinta?
___

Aku sudah tidak lagi ragu, bagaimana denganmu?
(IPM)

Surabaya, Juni 2015

#Ilustrasi diunduh dari satu, dua

Followers