Sudah
sekian kali kamu menghindarinya. Banyak jalan telah kamu tempuh agar dia tak
berpapas denganmu. Jalur yang dia lalui setiap hari, tak lagi kamu pilih
sebagai rute favorit untuk pulang. “Ah, lewat lajur lain saja,” pungkasmu.
Kebiasaanmu
bersamanya kuyakin juga tidak pernah kau lakukan lagi. Kamu berusaha beralih ke
berbagai kegiatan baru, tanpanya. Mulai dari kumpul sosial, bela diri, hingga
kelas latihan fisik, kamu ikuti tanpa henti. Sampai, pada akhirnya kamu jatuh
sakit karena kelelahan.
Namun,
semesta tak pernah bersepakat denganmu. Dia selalu saja tetiba berada tidak
jauh darimu. Tanpa skenario. Tanpa naskah. Bagai angin yang tak berwujud, dia
secara nyata muncul kembali di hadapanmu. Kamu yang tak siap, tentu akan balik
kanan dan mengelak. “Aih, kenapa dia lagi? Kenapa bukan yang lain?”
Duniamu
dan dunianya seakan-akan memiliki irisan. Mau-tak-mau, kamu selayaknya
menjalani hidup di sebagian hidupnya. Dia pun tak jauh berbeda, selalu berbagi
ceritanya dengan ceritamu. Kalian bagaikan kertas bolak-balik yang tak kuasa
dipisahkan.
Pernah
suatu hari kamu membaca buku tentang apa itu kebetulan. Kejadian tak disangka
yang tanpa diingini kemudian terjadi begitu saja. Seperti bertemu di suatu
tempat asing, barangnya terselip di tas ranselmu, urusannya berada di lingkup
pekerjaanmu, ketidaksukaannya kepada seseorang yang juga tak kau sukai, serta
lain hal. Banyak sekali kebetulan, yang tak diterka memiliki satu pola:
kesamaan.
“Mengapa
kamu menghindari dia?” tanyaku, padamu.
Aku tidak suka dia. Aku tidak ingin
bersamanya, singkat jawabmu. Kamu ulangi perkataan itu,
berkali-kali, ketika pertanyaan yang sama kusampaikan.
Kamu,
mungkin kamu tak pernah tahu, bahwa otak manusia tak bisa menerima sugesti
‘tidak’.
(IPM)
Bandung, Agustus 2015
#Ilustrasi
diunduh dari sini