Setelah membaca buku itu, aku
jadi tahu, bilamana setiap manusia selalu berusaha membuat manusia lain berbahagia...
Aku
ingin membahagiakan orang tercintaku, yang terkasih, yang selalu kuingat ketika
akan tidur dan terbangun, serta yang bila tanpanya aku bukanlah apa-apa. Aku
mau dia tersenyum karenaku. Bersebab keberhasilanku menaklukkan dunia,
mendekatkan diri menuju jalan-Nya, serta mengubah garis hidupnya, dari yang
biasa, merupa luar biasa.
Sebenarnya, kita hidup di dunia
ini untuk siapa?
Untuk
dirimu sendiri, nomor satu. Bila selesai, tugasmu ialah berusaha membuat
lengkung senyum di wajah orang lain. Namun, cendekia jelas menasihatkan
sesuatu, bahwasanya kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Selalu ada yang
bersedih karena diri kita. Selalu ada yang menangis bersebab pilihan kita.
Selalu ada, dan itu wajar nyatanya.
Bila
kini aku memilih membahagiakan orang terkasihku, dengan jalan tak
membahagiakanmu, bagaimana menurutmu? Apakah kamu bisa terima? Apakah kamu akan
berontak dan menghardik jalan yang sudah bulat kupilih arahnya?
Jika
nyatanya nanti aku salah, tentu itu masalahku. Bukan urusanmu. Ini hidupku, aku
yang menjalani. Bukan kamu atau pula mereka.
Maka
akhirnya, biarlah diriku menggamit keputusan yang dibuatnya.
Saat cintamu nanti, jauh di masa
depan, sudah ditentukan kini, pada seorang gadis yang dipilihkan oleh orang
terkasihmu, masih sanggupkah kamu menolaknya?
Jawabku
tidak. Bukankah tugas manusia ialah membuat manusia lain berbahagia? Termasuk
membahagiakan dia, yang diwariskan oleh Tuhan surga di telapak kakinya.
(IPM)
Bandung, September 2015
#Ilustrasi
diunduh dari sini