Salah satu kisah terpanjang dari lamanku ialah tentang dia. Perempuan yang menarik bersebab tingkahnya. Dia teramat mandiri, tidak bergantung dengan sesiapa, hingga membuatku berpikir seribu kali bagaimana menjadi pilihannya.
Novel-novel
picisan, berkisah tentang dua orang yang jatuh cinta, dilanda asmara, penuh
khayal yang tak ada di dunia nyata, tampaknya sudah lama kutanggalkan. Hampir
tidak kusentuh. Entah mengapa, aku kini lebih bernalar jauh. Buku ilmu praktis,
bahasa, serta beberapa yang bersifat ilmiah, justru lebih sering kujamah. Mengapa? Sebab hidup tidak sebercanda
itu.
Tuhan,
yang dulu dengan mudah kujauh-dekatkan, sekarang teramat kubutuhkan.
Penghambaan nyatanya tak seburuk yang dikira. Indah, sangat indah. Berserah
berbeda dengan menyerah. Berserah ialah menyerahkan semuanya, pasrah, tetapi dengan
terlebih dahulu mati-matian berusaha. Tak tahu mengapa, dengan jalan ini, hidup
seakan mengalir tanpa beban, seperti ada Dzat yang menjamin semuanya.
Kebiasaan
menunda, takut berjanji sebab ragu sanggup menepati, serta menghindari
komitmen, entah sejak kapan pelan-pelan memudar. Khawatir karena menunda
terhadap sesuatu, justru perlahan akan mematikanmu. Dan, aku tak mau itu.
Lucu
memang, bersebab satu perempuan, nyatanya seseorang sanggup ‘naik kelas’. Dari
yang saat membuka mata tak tahu harus melakukan apa, menjadi bangun lebih pagi
karena ada agenda yang harus ditunaikan sesegera. Dari yang tak rapi, mewujud
teratur dan presisi. Dari yang tak tahu ke mana arah dan tujuannya, merupa gila
kerja dan paham apa yang harus diraih tanpa berlama.
Memang tak salah, cara Tuhan mengubah kualitas seseorang, terkadang dengan jalan sebuah
pertemuan... dengan dia, misalnya.
Dia
tak pernah tahu bila hadirnya mampu mengubah aku, menjadi lebih baik, merupa
pribadi baru.
Maka, terima kasih, kamu.
Maka, terima kasih, kamu.
(IPM)
Bandung, September 2015
#Ilustrasi
diunduh dari sini