(1/3)
Ada satu cerita unik saat kamu
berkenalan dengannya...
Kantong
teh seduhmu menggantung di tepi gelas kaca, airnya pun masih panas, menyisakan
uap yang beradu dengan suhu pendingin ruangan. Ya, pagi sekali kamu sudah duduk
di kursi empukmu, memandang layar yang belum berisi arahan. Bosmu, sepertinya
belum terlihat berada di peraduan.
Lamanmu
yang baru ialah di sini, di perusahaan migas, menjadi R&D Engineer. Jalan hiduplah yang mengarahkanmu bertolak ke ujung
Jawa, tempat semua kebutuhan manusia diciptakan melalui ilmu mekanika dan
rekayasa. Tempat baru, kisah baru,
dengungmu.
Dari
ribuan orang yang bekerja di kantormu, ternyata kamu menemukannya. Ialah dia,
perempuan berkerudung biru muda, yang membuatmu tersedak saat menegak seduhan
teh. Sebenarnya, cukup jauh jarak antara tempat dia berdiri denganmu. Namun,
entah ada energi apa, pesonanya membuatmu tak berpaling sepersekian detik.
Matanya, matamu, perlahan bertemu. Sebentar saja, tapi lama sekali kamu melupa.
“Aku
harus bisa kenalan sama dia,” batinmu, membuat pernyataan sepihak.
Kebanyakan,
cara orang berkenalan ialah dengan membuka pembicaraan sarat basa-basi. Mulai
dari menanyakan nama, asal daerah, latar belakang pendidikan, tinggal di mana,
ditempatkan di bagian apa, hingga saat mulai dekat dan lekat, pertanyaan macam
‘berapa ukuran sepatumu’, atau ‘senakal apa kamu waktu kecil dulu’, hingga
‘rencanamu menikah di usia berapa’ sanggup terlontar begitu saja.
Gaya
paling standar ialah seperti di atas. Namun, kamu berbeda. Kamu tak akan dengan
noraknya datang, berjabat tangan, lalu menyebutkan nama dengan suara didalam-dalamkan. Katanya, wanita cenderung
lebih tertarik pada lekaki bersuara dalam, terkesan bijak dan bertanggungjawab.
Seperti
kucing yang siap mencuri ikan di meja makan, kamu mengendap dalam diam.
Sesekali kamu berharap untuk bisa ditemukan secara tak sengaja: di persimpangan
jalan ketika akan pulang, di antrean ATM kala ingin melakukan transaksi, hingga
bertabrakan di lajur pedestrian
karena masing-masing sibuk menimbang telepon genggam. Oh, yang terakhir lebih mirip seperti satu adegan di sinema elektronik.
Kisahmu
kali ini belum terarah. Samar. Tidak jelas. Cenderung abstrak. Kamu belum sama sekali
tahu perihal dia. Jangankan soal latar belakang keluarga, bahan bacaan kesukaannya,
pukul berapa dia terlelap, dan bahkan, namanya saja kamu tak sanggup mengeja.
“Mungkin namanya Diana, atau Dara, atau Shinta, Agista, atau justru Maya,
seperti penggalan nama tengahku. Ah, aku tidak tahu,” gerutumu.
“Daripada
susah-susah, aku panggil dia ‘Perempuan Bertudung Biru Muda’ saja. Iya, begitu
saja.” Semenjak pertemuan itu, kamu memiliki satu motivasi baru untuk pergi
kerja. Dasar lelaki, selalu bersemangat
bila berkisah tentang seorang pujaan hati.
(IPM)
Cilegon, November 2015
#Ilustrasi
diunduh dari sini sini