Katanya,
salah satu kualitas tertinggi seorang
manusia ialah, saat ia sanggup menertawakan sendiri dirinya. Aku masih tak
mengerti kalimat itu, bahkan hingga sekarang, sampai kuingat beberapa kisah
yang membenarkan.
Setiap
malam kamu selalu mengkhawatirkan sesuatu. Ada sebab hingga kamu sering berlama
duduk, menatap kosong pojok kamar, hingga akhirnya menyerah dan berbaring.
Namun,
tubuh dalam posisi terlentang serta berselimut tebal, ternyata tidak menjamin
kamu akan lekas terpejam. Mata, selalu tidak bisa berkompromi dengan pikiran.
Seperti malam ini, mata dan ragamu capai, tapi pikiranmu terus berlari entah ke
mana. Tak kenal lelah.
Terlalu banyak
momen kebetulan dalam baris novel ini...
Sang lelaki, Sena, yang telah jatuh hati semenjak berseragam
putih merah, tumbuh dewasa begitu saja dengan tetap mencintai seorang wanita,
Keara. Sempat dirasa akan berpisah paskah lulus, nyatanya mereka selalu berdua,
dalam tempat dan waktu yang sama.
Tentu ada yang berbeda dari aku dan kamu semenjak
terakhir bertemu. Sekiranya, bergenap tahun lalu, lupa tepatnya kapan. Sudah
lama, mungkin juga teramat lampau. Sejak perbincangan gugup, ditemani
canda-tawa tanggung, kamu duduk dipisahkan dua piring sajian di depanku.
Tak
seperti tahun-tahun sebelumnya, dua hari lalu dia bergegas pulang ke rumah.
Kembali ke kota kelahiran dari perantauan panjang di negeri orang selama
bergenap bulan.
Kemarin, kamu mengeluhkan harimu,
yang katamu tak sempurna, yang dari ceritamu sangatlah tidak indah, hingga pada
akhir bicara kamu berkata, “Aku benci hari ini.” Karena itu, aku menuliskan beberapa
larik untukmu, bacalah...
Katamu, teman, terlagi buku bacaan, ialah hal yang
membentuk pribadi seseorang. Apa yang didengarkan dari setiap perbincangan,
nyatanya diam-diam mengendap merupa persepsi. Lebih jauh, mewujud alibi yang
lambat laun mulai dipercayai. Diyakini. Hingga akhirnya menjadi peganganmu,
agar tak ragu lagi.
Kamu
ialah pribadi yang paling pandai menutupi perasaan. Namamu, Lelaki. Aku
mengenalmu baru sejengkal waktu. Kala takdir mempertemukan kamu dan dia, entahlah, kamu
berusaha menghalau kehadirannya.
Ada beberapa hal di dunia ini
yang hadirnya bisa ditunda...
Kamu
selalu percaya bila setiap orang yang disuka harus dimiliki sesegera. Segalanya
bagaikan perlombaan; siapa cepat, dia dapat. Namun, apakah benar hakikatnya
seperti itu? Adakah perumpamaan biarkan saja mengalir seperti air sudah tak
cocok lagi?