Terlalu banyak
momen kebetulan dalam baris novel ini...
Sang lelaki, Sena, yang telah jatuh hati semenjak berseragam
putih merah, tumbuh dewasa begitu saja dengan tetap mencintai seorang wanita,
Keara. Sempat dirasa akan berpisah paskah lulus, nyatanya mereka selalu berdua,
dalam tempat dan waktu yang sama.
Memang, hidup tidak melulu menyajikan laman
bahagia. Terkadang, Tuhan sengaja menghadiahkan tangis agar sukacitamu lebih bermakna.
Dan, boleh jadi kisah sedih itu harus diretas, ketika Sena harus menyeberang ke
lain kota, sementara Keara menetap untuk suatu sebab.
Hubungan jarak
jauh itu takkan pernah mudah,
kata seorang rekan. Benar saja, mereka berdua mengamini. Skenario yang pada
awalnya semanis madu, lambat laun mulai membiru, kian menyisakan haru. Kabar
mulai jarang bersambang, rasa mulai sedikit dangkal mengambang.
Dingin hubungan pun dijalani, tanpa berkomunikasi,
atau lebih jauh barangkali saling tak mengenal lagi. Dan, entah energi apa yang
sanggup menggerakkan, Sena ternyata tidak bisa melepaskan Keara. Dia kembali.
Namun, keadaannya sudah tak sama lagi. Keara tak sesehat dulu, tak sekuat di
masa lalu.
Penyesalan
memang selalu hadir terlambat, bukan?
Meski berkedok saling menjaga, dengan tidak saling menghubungi sementara waktu,
tetapi bukanlah penantian yang diinginkan
oleh setiap pasangan. Penantian itu menyebalkan. Sena kurasa tak mengerti
akan hal itu.
Jawaban dari setiap penyesalan adalah keberanian.
Berani untuk mengakui kesalahan, berani untuk berubah, serta berani untuk
memperbaiki semuanya. Sena membayar semua sesal dengan mengajak Keara menikah.
Apa dikata, nasib tak sanggup berkompromi. Keara hanya menyisakan raga, tanpa
jiwa. Kekasih lelaki malang itu tiada, dengan satu sakit yang masih tanda tanya
obatnya.
Orang yang kamu sayangi, yang kamu paling
idam-idamkan, yang kamu proyeksikan dia pada langit-langit kamar setiap malam,
untuk mengisi sisa hidupmu, menemani ribuan kali di kala momen sarapan pagi,
hingga tak sanggup bila sehari saja tanpanya, boleh jadi pada akhirnya hanyalah
sebagai perantara untuk jodohmu yang sesungguhnya. Tak ada yang tahu.
Terlalu banyak
momen kebetulan dalam baris novel ini. Namun, barangkali jodoh itu memang
rangkaian dari setiap kebetulan. Iya, kebetulan aku berjodoh denganmu, dan kamu
kebetulan juga berjodoh denganku. Pas!
(IPM)
Anyer, Mei
2016
*Tulisan ini disadur dari novel 'Jodoh' karangan Fahd Pahdepie
*Tulisan ini disadur dari novel 'Jodoh' karangan Fahd Pahdepie
#Ilustrasi diunduh dari sini