Kita ini lucu...
Katanya,
salah satu kualitas tertinggi seorang
manusia ialah, saat ia sanggup menertawakan sendiri dirinya. Aku masih tak
mengerti kalimat itu, bahkan hingga sekarang, sampai kuingat beberapa kisah
yang membenarkan.
Ada
seorang rekanku yang sangat ingin melanjutkan studi ke luar negeri.
Cita-citanya itu, sampai dia tulis besar-besar di depan meja belajarnya.
Pungkasnya, agar selalu ingat dan bersemangat. Namun, saat berkunjung ke
rumahnya, aku menemukan satu hal yang lucu.
Dia mengeluh tentang betapa sulit menguasai bahasa tempat kampus idamannya berada. Lantas, aku perhatikan perlahan. Dia berkesusahan karena memang tak maksimal berusaha. Dia masih ‘alergi’ membaca buku bahasa asing, mendengar, apalagi latihan berbicara. Nyatanya, dia memang sekadar ingin, bukan ‘mau’.
Dia mengeluh tentang betapa sulit menguasai bahasa tempat kampus idamannya berada. Lantas, aku perhatikan perlahan. Dia berkesusahan karena memang tak maksimal berusaha. Dia masih ‘alergi’ membaca buku bahasa asing, mendengar, apalagi latihan berbicara. Nyatanya, dia memang sekadar ingin, bukan ‘mau’.
Sahabat
terdekatku punya cerita lain. Keinginannya setelah bekerja ialah menjalani gaya
hidup sehat. Dia tahu benar bahwa di zaman ini, kesehatan pasti nomor satu.
Memulai ikhtiarnya, dia mendaftarkan diri menjadi anggota pusat kebugaran di dekat
rumah.
Dia rajin berlatih. Sebulan. Dua bulan. Di bulan ketiga mulai jarang. Dan seterusnya hingga tidak pernah lagi. Kebiasaan tidak sarapan, tidur kepalang malam, serta menjadi ‘ahli hisap’, masih tak bisa ditanggalkan. Nyatanya, dia sudah berusaha, tapi kembali ke titik pertama.
Dia rajin berlatih. Sebulan. Dua bulan. Di bulan ketiga mulai jarang. Dan seterusnya hingga tidak pernah lagi. Kebiasaan tidak sarapan, tidur kepalang malam, serta menjadi ‘ahli hisap’, masih tak bisa ditanggalkan. Nyatanya, dia sudah berusaha, tapi kembali ke titik pertama.
Senior
di kantor tempatku bekerja berbeda lagi. Dia mengeluhkan tentang kapan jadwal
promosi datang. Sudah sekian tahun dia diam di tempat. Gaji mungkin naik,
tetapi tidak dengan posisi. Dia mulai mengutuk beberapa kebijakan manajemen:
yang tidak relevan, yang tidak becus, atau pula yang asal memutuskan. Dia ingin
sekali dihormati, dijadikan panutan, dan diberikan benefit lebih. Namun, dia
melupakan satu: work-ethic.
Amanah yang dia tunggu, barangkali akan datang, tapi dibatalkan oleh ‘datang paling telat dan pulang paling cepat’. Mungkin juga dibatalkan oleh ‘kerjakan besok saja kalau memang tidak mendesak’. Atau, ‘santai dulu, nanti juga selesai’. Nyatanya, dia tidak berbuat, hanya menyalahkan keadaan.
Amanah yang dia tunggu, barangkali akan datang, tapi dibatalkan oleh ‘datang paling telat dan pulang paling cepat’. Mungkin juga dibatalkan oleh ‘kerjakan besok saja kalau memang tidak mendesak’. Atau, ‘santai dulu, nanti juga selesai’. Nyatanya, dia tidak berbuat, hanya menyalahkan keadaan.
Dan,
terakhir adalah kita. Berapa banyak dari
kita yang menginginkan dipasangkan dengan belahan jiwa yang baik? Tentu
semua ingin. Bila dirunut, ada yang dengan gamblang menyebutkan: aku ingin yang
rupawan, baik agamanya, baik pendidikannya, baik latar belakang keluarganya,
baik..., baik..., tiada habisnya.
Sampai di ujung, muncullah satu pertanyaan, “Apa benar kamu menginginkan yang seperti itu?” Dengan mantap akan dijawab, “Iya, tentu saja.” Lalu, apa usahamu? Ironis, kita barangkali masih gemar berbuat sebaliknya: tidak menyegerakan panggilan Tuhan, tidak bersungguh belajar, tidak dekat dengan orang tua, tidak berpenghasilan baik, tidak..., tidak..., tiada habisnya. Nyatanya, kita mengerjakan apa yang menjauhkan satu impian dapat dikabulkan.
Sampai di ujung, muncullah satu pertanyaan, “Apa benar kamu menginginkan yang seperti itu?” Dengan mantap akan dijawab, “Iya, tentu saja.” Lalu, apa usahamu? Ironis, kita barangkali masih gemar berbuat sebaliknya: tidak menyegerakan panggilan Tuhan, tidak bersungguh belajar, tidak dekat dengan orang tua, tidak berpenghasilan baik, tidak..., tidak..., tiada habisnya. Nyatanya, kita mengerjakan apa yang menjauhkan satu impian dapat dikabulkan.
Aku selalu berpikir jikalau kita
ini lucu. Menginginkan, tapi tak mengusahakan. Berusaha,
tapi pada akhirnya berhenti di tengah dan menyerah. Lebih jauh, sering pula
menyalahkan yang berada di luar, bukan mengubah dirinya sendiri. Dan,
barangkali yang paling nahas, melakukan sesuatu yang justru membuat mimpi
semakin jauh.
Jadi, kita ini lucu, bukan?
(IPM)
Anyer, Juni 2016
#Ilustrasi
diunduh dari sini