Tepatnya kemarin saat kamu bersambang lewat
tulisan kepadaku. Seorang teman masa lalu, yang dulu pernah berjalan beriringan
bersama. Tak ada yang lebih ironi dari kata ‘pernah’, seperti yang terlukis di
sana.
Pages
Teriknya siang di kotamu sudah barang tentu
menyengat. Panasnya sakit, taklid, hingga membuat setiap orang mencari saung
berteduh. Sudah hampir tiga tahun kamu menjalani hidup di distrik itu, tempat
di mana rupiah digali, diolah, dan ditempatkan dalam nominal-nominal buku.
Kamu
masih memandang riuh ramai jalanan kota dari jendela kaca lantai sepuluh
kamarmu. Kota yang punya sejarah kelam, perlawanan, serta beberapa saksi yang
membuatmu bertanya, “Mengapa manusia bisa sekejam ini?”.
Subscribe to:
Posts (Atom)