Kamu
masih memandang riuh ramai jalanan kota dari jendela kaca lantai sepuluh
kamarmu. Kota yang punya sejarah kelam, perlawanan, serta beberapa saksi yang
membuatmu bertanya, “Mengapa manusia bisa sekejam ini?”.
Matamu
tak bisa diam, sejenak memperhati, tak lama berpindah ke lain sisi. Namun, satu
yang pasti, kamu jatuh hati pada perilaku orang asing. Selayaknya, kamu sanggup
membuat cerita tentang mereka.
Seorang
anak kecil, kamu terka, merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Terlihat sangat
ingin, sampai-sampai air matanya tak terbendung. Entah tipuan, atau memang
sungguh-sungguh, kamu tak mengerti. Hanya saja, anak kecil biasanya paling
jujur ketimbang yang lain.
Gestur
ibunya ialah menolak. Mungkin lebih tepatnya, “Jangan sekarang, Nak,” sebab
setiap ibu, kamu yakini, pasti senantiasa memberi yang terbaik kepada putranya.
Selang beberapa waktu, sang anak tetap memaksa, dan akhirnya mereka sepakat.
Tidak jelas apa solusinya, hanya saja keduanya melanjutkan perjalanan, serta
tidak ada lagi wajah memelas tanda tak dikabulkannya sebuah permintaan.
Tanganmu
kini telah menggenggam secangkir Vietnamese
lotus tea. Masih hangat, atau bahkan terlalu panas, hingga tiap satu
tegukan, kamu harus lebih dulu meniupnya dua sampai tiga kali. Baru pukul tujuh, pungkasmu. Dan, perhatianmu
berpindah dari anak itu, ke satu bangku di dekat dermaga kecil Saigon River. Dudukan besi yang dingin,
yang tidak seorang pun berkenan singgah.
Kursi
lusuh itu berada di sebelah sepasang muda-mudi yang kelelahan berolahraga.
Saking letihnya, mereka lebih memilih untuk duduk di tanah. Sembari menarik
napas panjang, kamu melihat ada sedikit perbincangan di sana. Mungkin tentang
ketidakpuasan akan hidup. Barangkali juga mengenai topik ringan, misalnya, menu
sarapan apa yang akan disantap, warna baju kantor apa yang akan dikenakan, atau
ke mana akan berkelana menghabiskan akhir pekan.
Segala
pertanyaan remeh-temeh, tetapi cukup menghabiskan energi. Bisa saja kamu
mengabaikannya dengan menghadirkan pola. Betul, seperti Jobs yang hanya
mengenakan turtleneck shirt warna hitam
dan jeans, atau Zuckerberg dengan setelan grey
T-shirt dan casual trousers. Orang
super sibuk tidak sempat memikirkan hal itu.
Lamunanmu
tetiba terpecah. Dering ponselmu keras, memaksa untuk segera diberi perhatian.
Satu nama tersurat di sana, asmanya. Kulihat, kamu masih ragu mengangkatnya.
“Ada apa lagi?” batinmu. Dan, benar saja, kamu diamkan panggilan itu hingga
hilang.
Dia
tidak mengulangi panggilannya. Tak ada nada lagi. Mungkin dia tahu, kamu sedang
sangat sibuk. Atau, bisa juga dia mengerti, bahwa kamu memang sudah tak
menginginkan dia lagi.
(IPM)
Ho Chi Minh City, 2018
#Ilustrasi
diunduh dari sini