Teriknya siang di kotamu sudah barang tentu
menyengat. Panasnya sakit, taklid, hingga membuat setiap orang mencari saung
berteduh. Sudah hampir tiga tahun kamu menjalani hidup di distrik itu, tempat
di mana rupiah digali, diolah, dan ditempatkan dalam nominal-nominal buku.
Rutinitas tempo dulu pun telah lama kau tinggalkan. Apa itu bahan bacaan? Apa itu larik sajak? Apa itu alinea pembuka? Serta, lebih parah, siapa itu Tukang Cerita?
Benar kata orang, kehidupan selalu memiliki fase
yang tak pernah diam. Perubahan adalah
abadi, tambahnya. Kamu tak mengiyakan, tidak pula menangguhkan kalimat itu.
Terlihat pasrah dengan segala yang datang, dan… pada akhirnya menerima.
Dengan segala jenuh, kamu mulai mencari tahu. Iya,
mencoba menemukan kembali apa yang hilang. Barangkali, bukan ‘hilang’, tetapi
lebih tepat bila menyebutnya sebagai ‘bersembunyi’. Satu caramu yakni, mulai
rajin berkemas, berpindah ke lain tempat.
Bila almanak menunjukkan warna merahnya, kamu
pasti punya rencana bertualang entah ke mana. Tak perlu jauh, tapi berpindah. Tujuan
pertamamu ialah Kota D. Tempat lamamu sebenarnya, yang bertahun kamu tempati,
namun tak pernah muak untuk dikunjungi.
Kota D selalu punya sambutan yang mengejutkan. Apa
pun. Namun, kali ini lain, kamu hanya ingin memberi ucapan selamat kepada
seseorang: Dia. Iya, Dia, yang mengusahakan segalanya agar selesai, setelah
turun-naik serta lika-liku menghambat jalannya.
Entah mengapa, selalu kamu kagum dengan seseorang
yang berhasil berdiri setelah disungkurkan, kembali menatap sesudah bermalam
penuh tangisan, juga berani ke depan, tanpa perlu menengok terus ke belakang.
Dini hari kamu tiba. Tanpa tidur cukup, sebab
matamu tak pernah mau memejam di perjalanan, kamu pun terjaga, menyiapkan apa
yang harus disiapkan. Kotak kopi Trung
Nguyen, buku Thrive karya Ariana
Huffington, seikat bunga, dan tentu, mata merah. Lekas saja kamu berikan itu
semua padanya. Berbalas potret digital di gawaimu, kamu pulang cukup puas.
Dengan janji seadanya, kalian bertemu selang 30
jam paskah hari itu. Hitam-abu nyatanya cukup serasi di malam basah kota D.
Ditemani wedang jahe, roti bakar, juga jamuan berbumbu kapulaga, ada cerita
yang kamu simpan.
Cerita tentang laman keseharianmu, bagaimana
tetiba kamu diliputi rasa khawatir berlebihan, kisah politik kantor yang rumit,
dan sebaliknya, Dia pun melagukan beberapa larik pengalamannya. Detail, rapi,
terkadang pula ekspresif. Betul memang, perempuan paling pandai
mengingat-ingat.
Larutnya malam, membuatmu spontan memutar kilas
balik pertemuanmu dengan Dia. Sudah bertahun nyatanya. Kali ini dia ‘selesai’.
Tak banyak basa-basi, langkahmu cepat saja berubah. Entah mengapa, kamu yang
well planned, tetiba tergesah-gesah. Harus
sekarang, pungkasmu.
Kamu pun mulai berbicara. Pelan, dan tentu saja rahasia.
Kamu pun mulai berbicara. Pelan, dan tentu saja rahasia.
Kamu tak mau membagi denganku akan apa yang
terjadi malam itu. Hanya saja, kini banyak senyum yang kamu tampakkan. Entah
bersebab Dia, aku tak mengerti. Yang jelas, itu baik untukmu.
Kamu lupa
bagaimana caranya bercerita… sampai ada Dia, dan laman kisahmu barangkali akan
bertambah.
(IPM)
Bandung,
September 2018
#Ilustrasi diunduh dari sini