Tepatnya kemarin saat kamu bersambang lewat
tulisan kepadaku. Seorang teman masa lalu, yang dulu pernah berjalan beriringan
bersama. Tak ada yang lebih ironi dari kata ‘pernah’, seperti yang terlukis di
sana.
Bertukar kabar hanyalah tindak formalitas untuk
mengurai kecanggungan. Memang benar, kebiasaan yang terhenti takkan pernah sama
bila diulangi kembali. Pasti muncul satu keengganan, ketaknyamanan, atau pula
ketidakinginan untuk mencoba lagi, selayaknya kini.
Dari banyak basa-basimu, ada satu yang terngiang tak mau pergi, “Aku suka membaca tulisanmu. Sangat jelita. Namun, alangkah lebih
baik, bila bisa memberi manfaat. Tak sekadar menghibur sesiapa.”
Lentik jemarimu yang menuliskan. Tapi anehnya, aku
masih bisa mendengar nadamu seakan berbicara. Intonasi yang dulu khas hinggap
di telinga.
“Aku usahakan nanti ada nilai di dalamnya,
seperti permintaanmu,” datar pungkasku.
“Satu lagi, boleh aku minta sesuatu? Sudihkah kau
menyisipkan hadirku di karyamu?” kini kamu mengucap pinta, yang kutebak bila tak
dikabulkan akan meruakkan masalah. Ya, seperti anak kecil yang menangis jika
tak dibelikan boneka.
“Berkunjunglah lagi lain waktu. Akan kubuatkan
kamu satu, tapi bacalah,” sahutku melanjutkan, “Tenang, namamu takkan tersurat.
Bukankah seperti ini akan jauh lebih indah, tak ada orang lain yang memaknai
selain berdua?”
Merahasiakan,
yang paling rahasia.
(IPM)
Surabaya, 2018
#Ilustrasi diunduh dari sini