Seberapa sering kau menatap mata ayahmu?
Pertanyaan itu dulu sanggup kujawab dengan lantang, dengan cepat
dan tepat. Jawabnya singkat: aku selalu memandang mata itu tepat ketika usiaku
bertambah. Di sana, masih kuingat wajah Ayah dengan dua bola mata yang utuh.
Dan, kupastikan lekuk-lekuknya kian lengkap mengguratkan kesempurnaan.
Sungguh, dahulu ialah laksana kisah usang dalam hidup. Ada
lintah-lintah yang gemar menghisap darah-darah kami hingga merahnya memudar.
Tubuh kami pun gemetar menahan rasa getir karena penantian. Itulah elegi,
kadang kala memang tak patut kau mengingatnya lagi.
Aku masih memasung memoria pahit tentang kepergian Ayah. Kepergian
yang takkan mengisahkan kepulangannya kembali ke rumah. Pergi yang bermaksud
melepaskan dahaga akan lebat cahaya sehingga
sesiapa turut menginginkannya. Siapa yang tak ingin bertemu
Sang Pencipta? Siapa pula yang enggan menatap wajah Tuhannya?
Itu pertanyaan retoris. Sebab segala hidup hanya untuk
mempersiapkan mati. Serta, mati tidak enggan memilih nama. Dia tak akan
bertanya apakah kau siap bertemu dengannya. Kala kau tak siap, mungkin mati
merupakan jalan panjang air matamu yang abadi. Setiap pagi hingga malam matamu
akan menangis merintih, kepedihan ialah raut keseharianmu, dahaga dan siksa
merajammu sekelebat waktu, dan penyesalanmu hanya akan menjadi melankolia
belaka. Tak berguna.
Namun, jikalau kau siap, barangkali mati adalah cita-cita
terindahmu. Bertemu sambil bertatap dengan mata-mata jeli penghuni surga,
bercengkrama bersama, menikmati ranjang-ranjang panjang yang pupus dari
kerutan, hingga memakan apa saja tanpa pernah merasa kenyang ataupun bosan. Sungguh indah, bukan? Lantas, mengapa kau
takut mati?
Suatu ketika Ayah pernah mengajariku tentang bagaimana cara mati
yang indah. Tentu sebelumnya, dia akan bercerita dahulu akan episode-episode
kematian. Darinya, kutahu ada beberapa episode kematian: ada mati
terbakar, ada mati tertembak, ada mati tertabrak, ada mati karena menderita
penyakit, serta ada mati tak bersebab. Jikalau Ayah disuruh memilih, dia pasti
menunjuk satu episode kematian terakhir: mati tak bersebab.
Entahlah, aku tak mengerti mengapa Ayah menyukai cara mati seperti
itu. Kukira mati tertembak lebih nikmat rasanya, karena tak menderita seperti
halnya orang terbakar, tertabrak, ataupun sakit keras di atas paviliun rumah
sakit yang hampa. Jelas ketiga episode mati itu sangat kubenci, dan aku tak
pernah membayangkan bagaimana pahitnya nanti. Dalam hati aku berbisik: aku harus bisa mati tertembak.
Berkali kuceritakan keinginanku ini pada setiap teman yang
kukenal: kepada guru, tukang kebun, pembantu di rumah, serta yang lain. Lantas,
mereka menyebutku gila.
Siapa
yang gila?
Apakah insan dilarang untuk mencita-citakan mati? Adakah pelajaran
dalam bangku sekolah tentang pengkonsepan kematian? Dan aku semakin tak
memedulikan semua, cukup makna yang akan menceritakan segalanya.
Dalam sejenak waktu, aku menitihkan beribu air mata ketika
mendapat kabar sarat kesedihan. Kabar yang tiba-tiba muncul dari balik bibir
Ibu tentang kematian Ayah yang tiba-tiba. Ayah pergi meninggalkan kami dengan
sesegera. Dia tak mengisyaratkan apa-apa, kecuali permintaan baju putih
terakhirnya.
Sungguh aku sangat mengenal Ayah, bahkan kian
dekat nyaris tanpa sekat. Kuperhatikan, Ayah tak pernah meminta
sesuatu. Segalanya akan dia terima dengan sabar dan bijak. Di rumah, tak ada
waktu yang terbuang bersebab kemarahan. Tak ada nada tinggi dari Ayah. Selalu
lemah dalam nada suara serta candaan renyah khas lelaki paruh usia.
Ayah juga tak pernah menakzimku menjadi seperti dirinya. Menjadi
seorang yang berhasil menaklukkan masa pada interval usia muda. Dia selalu
memberikan pilihan untuk aku ambil seorang diri. Darinya aku belajar tentang
bagaimana menjadi lelaki, bagaimana menghadirkan damai di rumah, bagaimana
bertanggung jawab kepada keluarga, serta bagaimana menghidupi hidupku sendiri.
Ada banyak sekali yang diajarkan Ayah, barangkali yang lain aku melupakannya.
Kemudian datanglah hari teragung Ayah untuk berangkat menimba
karier ketiga jenjangnya. Hari di mana dia bersiap pergi untuk suatu
tujuan mulia. Hari di mana aku sengaja diutusnya mengantar hingga bayangnya tak
sanggup terlihat bersebab roda kuda-kuda besi yang gemar berotasi. Tetapi, ada
yang janggal dari Ayah. Dia meminta sepotong kemeja putih polos untuk
dipakainya pada hari itu. Dalam pikirku, aku bertanya-tanya: mengapa
harus warna putih? Adakah hitam atau merah bata yang lain?
Namun, itulah pinta pertama sekaligus yang terakhir dari
Ayah. Dan bahagia bagi kami karena telah memenuhinya. Sekelebat waktu, Ayah
kini telah berbaring damai dalam sunyinya liang sendirian. Berteman akrab
dengan tanah serta renik-renik di dalamnya. Selamat tinggal, Ayah.
Barang tentu, tiada yang menduga tentang kabar kematian Ayah.
Itu sangatlah persis seperti yang diidam-idamkan olehnya selama
hidup, tentang tata cara mati yang indah: mati tak bersebab. Bukan karena
tertembak, tertabrak, atau pun menderita penyakit tertentu. Ayah sehat dan mati
tak bersebab. Sungguh indah, bukan? Tetapi aku masih mencitakan mati tertembak,
seperti yang kukisahkan terdahulu. Tanpa sakit, tanpa rasa, serta hilang
berganti tak terduga.
Era Ayah sungguh sangat berbeda denganku. Episode-episode kematian
pun semakin mengisahkan perkembangan pesat pada zamanku. Ada tatacara mati
yang baru: mati diracun bahan kimia, mati karena gangguan jiwa, mati bersama
keluarga dengan alibi tak masuk akal, mati kelaparan, mati bersebab menanggung
malu, serta mati terjun dari lantai gedung pencakar langit. Aih, itu bukan
jalan mati yang elegan, tak ada seni yang menyertai. Manusia memang semakin
kreatif, tetapi tak menjamin nilai akan tersimpan rapi di dalamnya.
Lima tahun pasca kematian Ayah, aku semakin tumbuh menjadi insan
dewasa. Ada hal-hal yang kalian tak mengerti ketika ditinggalkan seorang kepala
keluarga. Ada pula sesuatu yang tak kalian tahu mengapa aku masih sanggup
berdiri menanggung beban hidup.
Bagiku, kehidupan ialah selaksa gelas-gelas kaca yang kosong. Tak
berkerak. Bening. Jikalau kau mengisinya dengan air-air terindahmu, barangkali
ia akan mengalun merdu membuaikan logika. Atau ketika kau menuangkan air-air
terkeruhmu, boleh jadi setiap jernihnya tak akan pernah kaupandang lagi. Dan
hidup sungguh merupakan miniatur dari hati, yang mengerti kapan tuannya akan
mati.
Aku masih mencitakan mati tertembak hingga kini. Tak ada yang
berubah dari tujuan itu. Bahkan, aku menunggu setiap hari kiranya kapan timah
panas itu raib menghujam tengkorakku. Dalam fantasi, aku memimpikan hal itu
terjadi cepat, sesegera.
Ada hari di mana ketidakadilan merajalela. Ibu pertiwiku menangisi
biadab para pegawai pemerintah yang anggun dalam mencuri receh-receh rakyatnya.
Moral dijual seribu tiga. Mereka mengenakan topeng-topeng khas cendekiawan yang
seakan-akan bijak menyikapi persoalan. Ketika semua percaya, perlahan
topeng-topeng pencitraan itu dibuka. Jeleknya wajah terpajang, tapi semua orang
sudah terlanjur percaya akan janji-janji manis yang dingiangkan. Mungkin juga
pada suatu hari nanti Tuhan akan sanggup mereka bohongi. Kini mereka semakin
menjadi. Dan aku menolak kalian dengan jalan kerusuhan kaum muda di Senayan.
Kami menggugat ketidakadilan. Kami membawa seluruh pemuda dari
pelosok negeri untuk memasung gerak ibukota. Di sini beberapa tembakan meluncur
mulus seketika, bermaksud menakuti kami yang enggan pulang melangkah. Aparat
mengejar. Kami tunggang langgang menghindar. Ada tetes-tetes emosi di raut para
pengadil itu. Semakin lama, semakin liar aksi mereka menghalau seluruh
adigdaya.
Dalam singkatnya kronologi, aku tertangkap. Mereka yang sedari
tadi meneteskan liur-liur emosi malah semakin menjadi-jadi. Ditodongnya senapan
hitam itu padaku. Aku yang memberontak menyusahkan pergerakan mereka,
ditarik-tarik semau keinginannya. Lantas, pelatuk itu diayunkan, suara dentuman
terabaikan.
Saat timah panas aparat menghujam tengkorakku yang lemah, mataku
memejam seketika. Dalam sepenggalah detik, aku masih sempat mencerna: senyum
kedua mata Ayah terlukis indah di hamparan aspal ibukota Jakarta.
Apa rasanya mati tertembak, namun sesiapa menganggapnya tak
bersebab? Ya, setidaknya itu cukup elegan bagimu. Kematianku
tertutupi, tiada hukum, terlagi saksi.
(IPM)
Bandung, November 2012
Idham PM |
Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini