Aku tak ingin memimpikan saat-saat itu. Momen ketika kamu
tetiba datang menanyakan kabar. Entah tulus, atau dengan maksud tersembunyi aku
tak mempermasalahkan. Seperti kemarin, tiada yang mengundangmu sebenarnya. Aku
pun sudah membiarkan rasa kita mengalir dengan sendirinya. Tanpa ada usaha
untuk lagi mengikatnya.
Kamu pernah memberi warna berbeda pada diriku. Mungkin
merah jambu, biru, atau juga kelabu. Yang jelas, waktu itu aku tidak bisa
membedakan selain bahagia. Selayaknya perkataan para cendekia, “Jangan pernah berdebat
dengan seorang yang tengah jatuh cinta.”
Oleh sebabmu, diriku merupa pribadi paling istimewa.
Paling gagah. Terlagi, paling beruntung. “Siapa yang tak ingin mendapatkan dia?
Aku juga mau,” cetus rekan sejawat saat hubungan kita resmi berumur sehari.
Mereka selalu menuduhku dengan pertanyaan tak wajar.
Misalnya saja, “Dengan apa kamu menaklukkan dia? Kamu beri seribu puisi, ya?”.
Pertanyaan lain justru seakan menghakimi, “Gimana caranya nulis cerpen
romantis? Kamu harus ajarin kita! Titik!”
Kalau mereka tahu kejadian sesungguhnya, barangkali
mereka takkan percaya. Satu kali pun aku tidak pernah memberimu sebait puisi,
apalagi cerita pendek, yang akan menyita waktumu untuk berlama-lama membaca.
Kamu punya sisi lain, yang jarang lelaki mengetahui. Apa itu? Kebiasaan
anehmu.
Aku hapal betul apa saja kebiasaanmu, yang lebih mirip
kegiatan tak masuk akal. Tiap kapan kamu ingin melakukan, aku senantiasa
memahami. Bahkan, tak jarang aku mewujud pengirim pesan misterius berisi,
“Jangan lupa bawa jaket ya! Di luar akan turun hujan,” ketika kamu ingin
menuntaskan hobimu di udara lepas.
Mungkin karena itu, kamu pelan-pelan menaruh harap. Kamu
rindu akan pesan pengingat sekaligus doa dariku. Prosesnya lambat, tapi cukup
mengikat. Bukankah yang datangnya perlahan, biasanya akan lebih lama
bertahan? Dan, aku telah membuktikan itu.
Sekurang-kurangnya bergenap bulan aku mendekati. Hingga,
buncah rasa ini meledak menyaksi suatu pertemuan. Mataku, matamu, tepat barang
segaris. Ikrar cinta khas anak remaja pun tertulis. Aku, kamu, sepulang dari
rumah makan bersejarah itu, berganti dengan sebutan ‘kami’.
Namun, istilah ‘kami’ cukup terjaga berganjil tahun.
Sejak aku tak lagi tinggal di kotamu, arah obrolan menjadi berubah. Kamu dengan
duniamu, aku dengan duniaku. Dunia kami lambat saja merupa berbeda.
Sampai akhirnya, aku angkat bicara. Kujelaskan maksudku
pelan, tanpa sadar kamu kudengar sesenggukan. Tangismu itu senantiasa kuingat.
Lekat. Hingga berapa lama setelah kejadian itu masih saja memorianya tertambat.
Sebagaimana perasaan, bagaimana pun sakitnya, bersama
waktu pasti juga akan membiasa. Aku mulai lupa siapa kamu, dan sudah jelas kamu
melakukan hal serupa. Ini semata agar kamu bisa menemukan orang lain untuk
merajut bahagia.
Hubungan dengan bumbu paksaan takkan sanggup meraih
kebahagiaan, bukan? Kamu tahu itu. Dan, kisah kami ditutup rapat-rapat,
dengan kunci yang dibuang jauh-jauh ke angkasa. Tak kembali.
***
Aku tak ingin memimpikan saat-saat itu. Namun, apa daya.
Saat ini, ya, saat ini, momen ketika kamu membuat mataku susah terpejam lagi, memikirkan
kamu, yang petang tadi berkirim pesan singkat, “Halo, apa kabarmu? Masih ingat
aku?”
Hari esokku, sepertinya akan terisi lagi kisah tentangmu.
(IPM)
Idham
PM |
Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini.