Sudah
terlampau petang menurutmu untuk kembali pulang hari ini. Berbekal ingatan masa
kecil, kamu memberanikan diri untuk berkunjung ke kawan lama. Cukup berkelok
alamat yang kau cari, tapi berakhir bertemu.
Obrolan
usang itu hanya selaksa bumbu pelengkap, sebelum akhirnya kamu berada di sebuah
kamar, tempatmu untuk bermalam. Sesaat akan beranjak, sang pemilik rumah
bercerita singkat tentang sebuah kursi di ujung ruangan. Kursi tua yang
ditakzimkan dibuat oleh ayahnya dahulu. Dengan kegigihan, dengan susah payah.
Dahimu
menyerngit. Sebenarnya, kalau dari kaca matamu, ia hanyalah kursi kayu usang
biasa. Tak ada desain khusus. Lebih-lebih, barangkali kursi itu dibuat dengan
tergesah dan sembarangan. Sudut-sudutnya tidak rapi. Peliturnya tidak
beraturan. Namun, lebih dari yang lain, kursi itu punya kisah bagi pemilkinya.
Seperti
juga dia. Sekelebat waktu pernah kamu berikan sebuah boneka padanya. Boneka beruang yang
mainstream, karena setiap anak
perempuan kecil pasti punya satu di sudut ranjangnya. Warna boneka itu tak
istimewa. Lekuk dan jahitannya tidak sehati-hati itu, terlagi ia hampir pasti
akan tertunduk lesu apabila tak dimainkan.
Namun,
tak menahu, selalu riang dia hadiahkan saat memeluk boneka itu. Bahkan, sebelum
terpejam, dia tidak pernah alpha memandangnya, tentu sembari membayangkan sesuatu,
entah apa. Rasanya, boneka itu sangat berarti buat laman harinya.
Seketika, aku membandingkan kursi dan boneka itu. Memang benar, terkadang, makna sebuah
barang jauh lebih dalam daripada tampilannya. Arti seutas perkakas lebih
menarik daripada rupanya. Nilai sentimental itu, sungguh nyata menjadi pembeda
di antaranya.
Aku tak punya kursi, terlagi boneka
beruang. Hari ini, kamu bertambah usia. Aku titipkan saja nilai sentimental itu
pada tulisan ini. Pelan-pelan saja kamu membacanya. Tenanglah, sebentar lagi
aku akan sampai.
Idham P. Mahatma | Sketsastra 2020
#Ilustrasi
diunduh dari sini.