Berterima kasihlah kepada dia yang kamu kagumi...
Sudah
lama sekali. Bahkan, terlalu lama, semenjak dia duduk di sana dan kamu hanya
bisa mengamati siluetnya dari belakang. Untuk sekadar menghampiri, kamu tak
berani. Nyalimu itu, sungguh kontras dengan keberanianmu tampil di depan publik
kini.
Di
hadapan dia, kamu lemah. Lututmu terasa gemetar tak tahu arah. “Aku kehilangan
diriku sendiri saat di dekatnya,” ceritamu, dan kujawab sekenanya saja,
“Mungkin kamu tengah jatuh cinta.”
Ada fasa jatuh cinta yang positif,
katamu. Yakni, ketika kamu mengagumi seseorang, dan kamu tak sadar bahwa hatimu
telah jatuh bersebab dia, sehingga kamu begitu bersemangat menjalani hidup,
berusaha menjadi yang terbaik di depannya.
Aku
baru sadar, setelah mengamati perlahan, jikalau akhir-akhir ini kamu berubah.
Tidak ada masalah bagi perubahan. Ya, asalkan merupa lebih baik. Seperti kamu,
yang entah mengapa, kini menyambut pagi dengan lebih ceria. Lesung pipit itu, sekarang mengembang tak kenal waktu.
Pagi,
senyum. Siang, tertawa. Sore, riang gembira. Bahkan, saat malam datang dan
tugasmu tak kunjung selesai, kamu masih sanggup berkata, “Ah, tenang, setelah
ini pasti kelar.”
Energi
macam apa yang bisa membuatmu berubah, entah dorongan orang tua, rekan, atau
hanya teks sapaan dari dia yang kamu cinta. Oh, kurasa alasan ketiga merupa
jawaban atas tanda tanyaku.
Seorang
yang membuatmu kagum, kamu taksir memiliki berbagai kelebihan. Dia itu anggun,
pandai menempatkan diri dalam dialog kelompok, berani tampil, pendengar yang
baik, serta sikapnya terpuji.
Pelan saja, secarik kertas kamu ambil, untuk kemudian kamu isikan perbandingan antara dirimu dan dirinya.
Pelan saja, secarik kertas kamu ambil, untuk kemudian kamu isikan perbandingan antara dirimu dan dirinya.
Kamu percaya, perempuan yang
baik, hanya akan bersanding dengan lelaki yang baik pula, begitu juga
sebaliknya.
Demi
mengimbangi ‘kebaikan’ dia, kamu mulai belajar dan berubah. Kamu pelajari
bagaimana menjadi pribadi elegan, ya, lewat media diskusi, buku bertopik
komunikasi, hingga langsung praktik di lapangan. “Oke, satu hal selesai, yuk
pindah ke yang lain.”
Lain
hari, kamu belajar bagaimana merupa seorang yang berani mengambil tanggung
jawab. Dengan ikut berbagai kegiatan, menawarkan diri mewujud pemangku
keputusan, dan berlatih menerima segala kritik tajam. “Hmm, satu lagi selesai.”
“Kamu
enggak capek terus seperti itu? Mengejar dia dengan mengubah sisi pribadimu
yang dulu?” tanyaku, saat kamu butuh teman bicara.
Jawabmu
mengejutkan, “Tentu capek. Tapi, seorang yang berharga, memang harus dikejar
dengan segala usaha,” tuturmu, lalu disambung, “Usahaku ya ini, terus
memantaskan diri.”
Aku
hanya bisa menyaksimu dari sini. Melihat seorang sahabat yang berusaha
memperbaiki diri agar dapat bersanding dengan dia yang terbaik di kemudian
hari.
Kamu
pasti tak tahu, jikalau aku di sini diam-diam juga melakukan hal yang sama:
memantaskan diri.
Untuk apa?
Untuk
bersanding denganmu jawabnya.
___
Berterima kasihlah kepada dia
yang kamu kagumi. Karenanya, kamu pernah berusaha memantaskan diri menjadi
pribadi yang lebih baik.
(IPM)
Idham PM | Sketsastra 2020