Pernah kuingat dia menginginkan sebuah hadiah. Bukan cokelat,
bukan pula boneka, melainkan bunga. Tak biasanya dia mengingankan hal itu.
Hingga, kamu pun mulai mencari tahu.
Mengapa harus bingkisan buket bunga? Tentu, jawaban sekadarnya yang akan keluar: pengen aja.
Begini. Bunga, atau pula barang hidup yang lain, tidak
akan bertahan lama. Apa yang dia harapkan
dari pemberian hadiah itu? Barangkali, dia hanya akan menerimanya,
mengambil beberapa potret lantas dibagi ke lini media sosialnya, dan bunga itu berakhir
tergeletak lunglai di tempat sampah.
Atau, jikalau lebih beruntung, mungkin saja beberapa
tangkainya akan dia hadiahi dengan vas penuh air. Beberapa hari tampak segar,
setelahnya pasti jua layu dimakan waktu.
Kamu pun mengambil perandaian lain. Misalkan saja, bunga
artifisial yang justru kamu beri. Memang akan awet, tapi kalau ditarik secara
makna, buket itu penuh dengan ketidakjujuran: serupa bunga, atau pula bunga pura-pura.
Kucerna, kamu terlalu banyak berteori tentang apa yang
dimau oleh wanita. Ada banyak hal-hal kecil yang memang bagi kita tak akan
masuk dinalar logika, but it surely
matters.
Selayaknya buket bunga ini. Kamu membelinya diam-diam.
Diletakkan saja bingkisan itu tepat di samping raganya yang masih terlelap
pulas. Saat dia terjaga, aku berani bertaruh tentang apa yang akan dia rasa: terkejut, tapi bahagia.
Lagi, bukan hadiahnya, tapi momen agar dia
sadar bahwa bagimu dia istimewa.
(IPM)
Idham
PM | Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini.