Aku ingin memberimu hujan.
Ronamu kian lelah paskah menjalani hari. Hingga, kukumpulkan beberapa awan untuk meruap mendung di tempatmu, teduhnya tenang, selaksa relaksasi khas alam. Kamu pun terlelap pulas.
Ronamu kian lelah paskah menjalani hari. Hingga, kukumpulkan beberapa awan untuk meruap mendung di tempatmu, teduhnya tenang, selaksa relaksasi khas alam. Kamu pun terlelap pulas.
Aku
semakin ingin memberimu hujan.
Beberapa
pujangga bilang, hujan itu romantis. Sebab, ia terus saja kembali, meski
nyatanya pernah jatuh berkali-kali. Namun, kamu tak mengamini. Malah, lebih
jauh, kamu berkelakar, “Hujan sering mengganggu pagiku.”
Aku sangat ingin
memberimu hujan.
Damai saja hawanya.
Berdiam di rumah sembari menikmati kopi panas dan selimut. Rambutmu akan diikat
ekor kuda, dengan kacamata tebal, demi menuntaskan laman buku sastra kesayangan. Aroma petrichor tanpa alpha, lekat pula menemani menentramkan. Ironis, kamu tak merasa.
Kuulangi, aku
teramat ingin memberimu hujan.
Air yang basah di
pergelangan, serintik kemudian, tetapi tak kau usap ia perlahan. Kelak, ia akan menelusup masuk ke pelupuk
matamu. Lantas kau pedih. Berkedip. Lalu sampailah ia pada retinamu yang kaca.
Aku telah memberimu
hujan.
"Kapan?"
kamu pelan bertanya. Kemarin. Tetapi, tak ada lagi esok,
lusa, atau hari yang lain. Kemarau adalah teman barumu.
“Mengapa? Tidakkah
katamu kau setia?"
Maaf. Aku lelah...
(IPM)
Idham
PM | Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini.