Berkunjung
ke kediamanmu, satu hal yang tak bisa dibayangkan. Undangan ini pula bisa dikatakan
insidental. Tanpa rencana. Tanpa rancangan. Dengan bibir tersenyum, kemarin kamu bilang, “Makan malam di rumah yuk sesekali, nanti aku jadi asisten koki Ibu deh.”
.
Tanpa
perlawanan, aku mengiyakan. Mana mungkin pula menolak ajakan dari seorang yang
spesial. Namun, ada yang berbeda ketika kamu menemuiku di ruang tamu. Kulihat
dari rona wajah, kamu tampak tengah dilanda kecemasan. .
Ada apa?
Kalimat
tanya itu pendek, tetapi jawaban darimu begitu teramat panjang. Susah payah
kamu menjelaskan, dan kusimpulkan kamu tengah ada masalah dengan seseorang,
rekanmu.
Kau
tahu, sebagian besar dari masalah yang datang kepadamu nyatanya ialah berasal
dari kamu sendiri. Sebenarnya, kamu menciptakan satu masalah untuk dirimu saat kamu
ikut campur ke dalam urusan orang lain.
Kamu
melakukannya karena kamu yakin bahwa caramulah yang terbaik dan orang-orang
yang tidak sepemikiran denganmu patut kamu kritik dan dituntun ke arah yang benar,
ya, ke arahmu.
Kamu
bersikap seperti itu karena egomu masih kamu agungkan. Kamu merasa selalu benar
dan tujuanmu untuk orang lain ialah menempatkan mereka pada jalur yang kamu
anggap paling ‘baik’.
Tentu saja mereka akan berontak,
tak mau mengalah. Di dunia ini, tak ada seorangpun yang mau disalahkan,
meskipun mereka salah.
“Seandainya
saja kamu tidak ikut campur dalam urusan orang lain dan memberi nasihat hanya
bila diminta, maka kamu tidak akan banyak bercemas, seperti kini,” aku menutup
obrolan sore bersamamu, sembari menunggu semua siap, sambil menanti mencicip
masakan perdana di rumahmu.
“Iya,
aku ngerti,” sergahmu lalu air mukamu tampak mulai berubah sumringah
kembali.
“Nak,
ini tadi anak Tante lho yang masak. Perdana. Ayo, wajib dihabiskan!”
Aku
hanya bisa tersenyum. Meskipun nanti cita rasanya berlainan, mana tega lidahku
banyak berkomentar.
___
Ayahku,
dahulu, tak pernah angkat bicara atau memberi kritik tentang masakan Ibu.
Walaupun hambar, terlalu pedas, atau bagaimana, beliau hanya diam. Terus
melahapnya.
“Ayah,
mengapa Ayah diam saja?” tanyaku ketika masih kecil.
“Sudah,
makanlah, hargai masakan Ibumu. Kamu masih ingin, kan, melihat wajah cantik Ibu
tersenyum?” pungkas Ayah, singkat.
(IPM)
Idham PM | Sketsastra 2020
#Tulisan
ini terinspirasi setelah penulis membaca Stop
Worrying and Start Living.