“Kamu itu tukang tidur,” itulah satu kalimat terakhirmu yang selalu terngiang.
Bagaimana tidak, sudah berkali
rasanya pernyataan itu terlontar tanpa filter. Aku yang tak merasa bersalah,
seringkali hanya tersenyum. Tentu, sembari mempertanyakan, “Masa iya?”
Rasanya pernah, saat tirai
malam baru dibuka, kita berdiam berdua menanti hidangan ikan datang memenuhi
meja. Cukup lama, hingga bertatap dan berbincang selaksa saling berlomba
mendahului. Kau tahu, setelah sampai di rumah, tanpa basa-basi, aku langsung tenggelam.
Ngantuk!
Lain waktu, aku menjelma serupa
orang paling kau cari. Memang, saat itu aku pamit hendak pergi ke kotamu di
penghujung petang. Memompa rindu, alibinya. Namun, lewat dini hari, tak pernah
aku melempar sinyal lagi ke ponselmu. Bukan mengapa, semuanya baik saja. Aku
hanya terlelap. Ah, semalam ngantuk!
Di gulita yang lain, beberapa
kali, atau bahkan sering, aku mewujud peri pencabut perbincangan. Sederhana
saja alasannya. Bukan, sama sekali aku tidak merasa bosan. Banyak candaan yang
kadang di luar batas kewajaran tak kuasa terlontarkan. Sekejap mataku melebar, tapi
sekelebat waktu ia kuncup tak mau mekar. Sorry, duluan
ya, ngantuk!
Tulisanku tentangmu tak kunjung
selesai. Celakanya, hari ini aku tidak sedang minum kopi. Kulihat di arlojiku,
jarum jam sudah enggan bergerak lincah ke mari. Hampir pagi. Aih, kenapa kini engga ngantuk!
(IPM)
Idham
PM | Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini.