Diam-diam aku masih gemar membaca catatanmu…
Bersikeras saja kamu menuntut diri, berlaku ini-itu
dengan tameng menjadi lebih baik. Segalanya kamu tulis rapi dalam buku kecilmu.
Saking praktisnya, lembaran itu bisa sekali waktu menyelinap ke dalam kantong
baju atau celana. Serta, tentu saja, susah payah kamu mencarinya.
“Sudah kubilang, ada yang namanya teknologi. Engga
perlu pakai kertas macam detektif begitu,” sergahmu.
Namun, seperti bisa kau duga, dia tak bergerak.
Tetap dengan setelan lamanya. Pensil dan halaman, yang diselipkan di berbagai
lekuk, entah tas, jaket parasut, hoodie,
atau pula kemeja dengan kantong sedang di bagian kiri dada.
Kebiasaan menulis, atau lebih cocok disebut
mencatat, telah merupa kebiasaan. Tentu, setiap habit terpatri paskah repetisi yang panjang. Pasti bukan tetiba dia
bangun pagi, kemudian menerima titah entah dari semesta atau yang lain, dan
mulai rajin mencatat.
Dia itu pelupa, awalnya. Hingga muak sekali dengan
sifat itu dan drastis saja dia ingin berubah. Kekuatan yang teguh ingin
meninggalkan lembaran gelap lama, membakar semangatnya untuk terus maju.
Setiap apa yang dia kira akan lupa pasti dituliskan.
Kecil-kecil. Kadang juga sedikit miring dan tanpa tanda baca. Intinya, hanya
dia yang paham apa yang tergurat di sana.
Tapi, aku sebenarnya juga paham maknanya. Kamu tahu,
tulisan dokter saja bisa dimengerti oleh seorang pharmacist. Sementara kamu, ya, akulah yang mewujud peracik resep
itu.
Diam-diam aku masih
gemar membaca catatanmu, yang terakhir itu, entah mengapa membuatku tersenyum. Aku
sudah tahu rencanamu, tapi tenang, esok aku pasti terkejut!
(IPM)
Idham PM | Sketsastra 2020
#Ilustrasi diunduh dari sini.