Rintik turun cukup deras. Membasahi malam Minggu dengan kalut dan tirai gelap. Terperangkap saja dia dan kamu di sofa tengah apartment. Tempat mungil barumu yang harus kamu jelaskan berapa kali ke orang tuamu karena lebih merekomendasi bangunan rumah daripada sepetak lahan di tinggi gedung bertingkat untuk kamu pilih.
“Lebih simple, akses mudah ke mana-mana,” belamu.
Tentu, tidak ada yang lebih
bosan daripada berdiam menghamburkan waktu di awal malam. Dia masih mencari series atau film favoritnya di Netflix.
Kamu, bergulat dengan kolom berita di CNBC atau Kontan, melihat apa yang akan bergerak
bullish, bearish, atau sideways dengan sok tahu.
Karena gamang, sikap ke-tidak-bisa-diam-nya
beranjak ke rak bukumu. Deretan buku novel dan sastra yang mengisi barang
separuh masa perkuliahan. Tentu, tidak sejalan dengan bidang yang kamu tekuni
kini, tapi siapa peduli?
“Bacaan itu wajib, apapun
bentuknya. Fiksi sekalipun, tak mengapa,” jawabmu, saat rekan berkunjung dan
kagum dengan koleksi unik buku-buku itu.
Bilangan Fu yang dia pilih.
Merapatkan diri ke sofa lagi sambil sesekali melihat ke arahmu. Tak beranjak
kamu dari tadi, masih sotoy menganalisa
candlestick dengan pelbagai variasi.
Katanya, buku yang apik akan menenggelamkan pembacanya. Sepertinya, kamu juga akan
hanyut dalam hitungan menit lewat tulisan Ayu Utami itu.
“Kamu sudah baca ini? Sampai
habis?”
“Harusnya iya, tapi lupa
detil isinya. Dulu sekali. Ada perang-perang ceritanya,” seadanya saja
responmu.
Entah perang apa yang kamu
ingat. Kadang, refleks saja kamu menjawab kalau tetiba disodorkan pertanyaan
dadakan. Nantinya, kamu pasti merevisi jikalau alpha, “Ah, lain buku ya, okay
revisi, sorry.”
“Pitaloka,” sergahmu, “Sedih
ya jadi Pitaloka, mengharap kisah bahagia, tapi diterpa nestapa.”
“Siapa dia?” tanyamu
singkat.
Benar saja, rasanya kamu salah buku. Dikisahkan, dalam beberapa laman buku itu, Hayam Wuruk, seorang
pimpinan Kerajaan Majapahit jatuh hati dengan putri Padjajaran, Diah Pitaloka.
Pinangan pun dikirimkan. Tidak bertele seperti saat ini, lamaran diterima,
serta pernikahan siap dilangsungkan.
Di lain sisi, Gajah Mada, Patih
Kerajaan Majapahit, dengan sumpah terkenalnya, Sumpah Palapa, masih berambisi
besar untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Momen ini, salah
satu yang ditunggu. Dengan pernikahan Putri Diah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk,
tentu bisa jadi dimanfaatkan sebagai momen penaklukan Kerajaan Padjajaran oleh
Kerajaan Majapahit.
Sedikit tak biasa.
Pernikahan justru diisyaratkan diadakan di tanah Majapahit, bukan di tempat
pengantin putri. Rombongan Padjajaran pun berangkat. Namun, mengetahui adanya
maksud lain dari Patih Gajah Mada, mereka menolak. Perang Bubat pecah. Oleh
karena kalah jumlah dan persenjataan, rombongan Padjajaran pun habis. Putri
Dyah Pitaloka, yang masih bernyawa, memilih untuk belapati, tindakan bunuh diri untuk membela kehormatan kelompoknya.
Raja Hayam Wuruk tentu berduka.
Namun, peristiwa itu justru tidak mendamaikan antar kedua kerajaan. Hubungan
baik pun hanya harapan. Bahkan hingga kini, stereotip tidak diperbolehkannya
memadu kisah romansa, terlebih pernikahan, antara turunan tanah Majapahit dan
Padjajaran masih melekat kuat.
Ceritamu berhenti sampai di
sana. Kisah yang kecut untuk dinikmati di kala penghujan. Dongeng yang membuat
susah tidur malam. Serta, setelah bercermin, kalian mulai bertanya, apakah iya stereotip itu masih ada?
“Aku Jumat depan balik ke
Bandung. Naik Turangga.”
“Siap, aku antar sampai
Gubeng ya.”
(IPM)
Idham PM | Sketsastra 2021
#Ilustrasi diunduh dari sini
#Cerita terinspirasi dari Bilangan
Fu karya Ayu Utami