Betul katamu, setiap tempat pasti punya ceritanya sendiri. Kisah yang sengaja atau tidak, disematkan begitu saja. Terkadang sukacita, tapi seringkali lebih dominan yang sentimentil, juga menggurat sedih di ujung mata.
Menunggu
dia selesai, itu inti bahasannya. Entah perkara apa, pasti dia yang terakhir berkemas atau
beranjak. Tabiatnya yang sangat berhati-hati, detail, serta tidak ingin ada
yang terlewat, menjadi argumen kuat untuknya guna menebar kata-kata.
“Sudahlah,
jangan buru-buru… Hiduplah dengan perlahan…”
Nasihat
macam apa itu? Di saat segala hal rasanya ingin berlari
kencang dan saling membalap, dia justru berbeda dengan unik gayanya sendiri. Kamu, sampai saat ini, masih
tidak tahu ajaran mana yang merasuki pikirannya. Atau juga buku dan jurnal apa yang
telah dia baca saat hendak terlelap di tengah malam, hingga merupa pemahaman
baru baginya.
Yang
jelas, dia ya begitu, tetap dengan prinsipnya itu.
Kalau
kamu perhatikan respon dia terhadap sesuatu, yang santai dan tak ambil pusing,
mungkin kamu baru akan sadar. Tak sepenuhnya salah mengikuti pesan darinya.
Sama tak seutuhnya benar ketika setiap saat, katamu, segala harus selalu tergesa-gesa.
Terkadang, kompromi jauh lebih bijaksana ketimbang memilih.
Namun,
untuk urusan jadwal keberangkatan, kamu pasti mengambil alih kemudi. Selalu kamu yang
berpesan, “Ayo, lekas, tinggal berapa lama lagi keretamu berangkat?” Dia yang
tak pernah suka dipinta untuk bergegas, pasti akan menggerutu, “Iya, masih lama
kok,” sambil menyiapkan kopor yang akan dibawa.
Kamu mengantarnya sampai terlihat dia menaiki
kereta. Di King’s Cross St. Pancras Station, dia mengirim pesan
lewat ponselnya, “Aku sudah duduk, sampai berjumpa di akhir bulan nanti.” Kamu
belum menjawab, masih menanti keretanya berangkat. Kereta yang pelan di awal,
tapi kencang setelahnya. Kereta yang tak grusa-grusu, namun selalu tepat waktu tibanya.
Entah sudah berapa lama, tempat ini telah mewujud bukan
titik jumpa biasa. Benar katamu, setiap tempat pasti punya ceritanya sendiri. Di
lajur ini, ada cemas ketika akan berpisah, ada senang saat akan bertegur sapa. Heathrow,
Gatwick, Luton, Victoria Coach atau Euston, mungkin saja serupa. Namun, kisah di baliknya yang kadang
mengukir aksen berbeda.
“Next,
aku yang ke sana,” balasmu.
(IPM)
London,
Sketsastra 2022
#Ilustrasi
diunduh dari sini