Tepat di hari perayaan itu kamu memberanikan diri. Mengusiknya barang sebentar. Seperti sebelumnya, atau momen yang lain. Mengharapkan balasan yang lebih, kamu pun cukup khawatir memulai. “Ah, coba lagi deh,” itu mantra terakhirmu kala tak sesuai garis kisah.
Obrolanmu dan dia hanya
sebatas perihal pekerjaan, atau juga topik eksakta yang canggih. Sebab, kamu
atau dia sama-sama bergeming untuk melangkah ke tema lain. Di akhir bincang, semuanya gamang. Maaf, bukan
semua, melainkan dirimu saja. Dia tetap seperti itu. Dengan kemandirian dan cantik
anggunnya, dia terus menjalani hari. Tanpa beda. Tetap sama.
Kamu
melepas harap dengan mewarnai lika-liku hidup seperti biasa. Pagi mencari
nafkah, sore berlomba untuk sesegera mungkin kembali ke dalam rumah. Namun,
pesan singkat darinya tetiba menyeruak. Entah angin apa yang berhembus di
benaknya, dia kini yang lebih dulu memulai cerita.
Memoria
seketika ditumpahkan. Kisah-kisah picisan lebar-lebar dibentangkan. Soal hal
serius mengenai proyek-proyek, mekanisme penelitian, hingga bagaimana satu ide
bisa sampai teraplikasi merupa barang jadi pun kalian bahas. Tak lupa, jokes
tak lucu khasmu pasti tak pernah absen. Kamu
pun menaruh was-was kembali, akan sepanjang apa ruang cerita ini?
Tampaknya, alam sedang
berpihak padamu. Buku yang akhir-akhir ini dia sesap itu tetiba dengan magisnya
mengubah suasana. Dengan satu-dua kalimat balasan
darinya, semua sekelebat terbuka. Memang benar, tidak ada yang tahu melalui pintu
mana untuk masuk satu romansa. Pintu kalian barangkali mengenai bahasan “ke
depan akan tinggal di mana dan berkarir apa”.
“Kalau
memang jalannya denganmu, aku ikut saja,” sergah dia.
Sejak
itu, mungkin selalu ada sungging senyum di ujung bibirmu. Kamu berharap dia juga sedemikian,
sesenang dan segembira kamu. Malam ini kalian mengakhiri panggilan telepon.
Seharusnya kamu bergegas terlelap. Namun, matamu tak bisa memejam, terus
memandangi langit-langit itu lamat-lamat. Bibirmu diam, tetapi hatimu berdoa,”Semoga
selamanya.” []
Jakarta, Juni 2024